Aku selalu percaya bahwa batik bukan hanya kain. Ia adalah bahasa yang ditulis dengan lilin, dibaca dengan hati, lalu diwariskan lewat generasi. Maka ketika aku berkunjung ke Pameran Batik Situbondo di Paseban, Alun-alun Situbondo, aku merasa seperti pulang. Di balik tiap goresan malam dan warna yang melekat pada kain, tersimpan cerita tentang alam, budaya, dan manusia Situbondo.
Batik Situbondo bukan sekadar motif yang indah dipandang, tetapi cermin dari sebuah identitas. Aku kagum bagaimana kain yang mungkin tampak sederhana bisa menjelma jadi simbol kebanggaan, sekaligus pengingat bahwa budaya Situbondo masih berdenyut dengan kuat di tengah arus zaman.
Batik Daun Kelor, Filosofi Hidup dari Alam Situbondo
Di antara banyak karya yang dipamerkan, ada satu yang paling membuatku terpukau, yautu batik daun kelor. Motif kecil berbentuk oval yang tersusun majemuk ini seolah menyalin kehidupan orang Situbondo, sederhana tetapi kuat. Bukankah kelor dikenal sebagai tanaman seribu manfaat? Maka ketika ia ditransformasikan ke dalam kain, rasanya aku sedang menyentuh filosofi tentang keteguhan hidup.
Pameran itu memamerkan ragam batik Situbondo dengan corak yang berlapis-lapis. Ada yang menyerupai bunga karang, rapat dan simetris, seakan menghidupkan laut yang memang menjadi nafas masyarakat pesisir. Ada pula yang geometris, tegas sekaligus lentur, perpaduan antara modernitas dan tradisi. Warna-warnanya hangat, cokelat, emas, oranye, sesekali hijau, seperti senja di Pantai Pasir Putih.
Dan tentu, batik marongghi tak ketinggalan. Kain ini menampilkan motif daun kelor dengan berbagai variasi, ada yang klasik dominan gelap dihiasi putih, ada juga yang penuh warna cerah. Bagi pengrajin batik Situbondo, marongghi menjadi identitas Situbondo yang memang masyarakanya sangat dekat dengan daun kelor. Aku merasa seolah kain itu sedang berbisik, mengingatkanku bahwa budaya Situbondo tak pernah kehilangan daya hidupnya.
Di sana, aku bertemu Om Kim, seorang pembatik yang sedang mewarnai batik bergambar peta Kabupaten Situbondo. Aku terdiam cukup sambil mengobrol sedikit tentang batik yang dipamerkan. Bayangkan, sebuah peta yang biasanya kaku berubah menjadi karya seni yang hidup. Peta itu bukan hanya garis batas wilayah, tapi juga bukti cinta pada tanah kelahiran.
Pameran Batik Situbondo dan Diskusi Aset Crypto
Di Paseban, Alun-alun Situbondo, suasana pameran terasa seperti pesta budaya kecil. Stand-stand batik dipenuhi kain lawas peninggalan bangsawan, batik dari pengrajin lokal seperti Lembaga Indradanu, Hudafiyah, Batik Shafli, Rumah Batik Radiyah, Ahmad Agus Triawan, dan banyak lagi. Semua bersatu memamerkan karya, seolah ingin berkata, “Ini nih wajah Situbondo bila ditulis dengan lilin dan warna.”
Yang membuat acara ini istimewa, bukan hanya pameran kain yang sudah jadi, tapi juga proses membatik langsung di lokasi. Ada yang mencanting, menorehkan garis halus seperti doa yang ditulis di atas kain kosong. Ada pula yang mewarnai, menghidupkan putih yang hampa menjadi lautan warna penuh makna. Aku merinding membayangkannya, di balik setiap kain, ada tetes keringat, ada kesabaran, dan cinta.
Dan, seolah ingin menyambungkan tradisi dengan masa depan, pameran ini juga menghadirkan diskusi tentang cryptocurrency dan NFT. Mas Aves Wahyu, sang pembicara, menjelaskan bahwa karya seni batik kini bisa diabadikan sebagai aset digital. Bayangkan, batik Situbondo bukan hanya bisa dipajang di lemari, tapi juga bisa hidup di dunia maya, terlindungi hak cipta, bahkan bernilai sebagai investasi.
Bagiku ini sebuah ironi yang indah, batik, warisan kuno yang ditulis dengan lilin, kini berjumpa dengan blockchain yang ditulis dengan kode. Dua dunia yang berbeda, tetapi sama-sama bicara tentang keabadian.
Sebagai Penutup yang Manis
![]() |
Walaupun tidak begitu ngerti batik, aku suka sekali pakai batik |
Ketika aku meninggalkan Alun-alun Situbondo malam itu, aku merasa seolah baru saja usai mengilhami sebuah kitab panjang. Batik di sana bukan sekadar kain dengan motif daun kelor, bukan hanya corak laut atau garis geometris. Ia adalah sejarah yang dijahit dengan waktu, budaya yang dipelihara dengan cinta, dan identitas yang terus mencari cara untuk bertahan.
Aku sadar, aku mungkin tidak sepenuhnya paham makna tiap motif. Tapi aku tahu satu hal, setiap kali aku mengenakan batik, aku sedang membawa cerita, mempertahankan budaya. Dan batik Situbondo memberi cerita yang berbeda, lebih dekat, lebih personal. Seolah-olah ia mengajakku untuk tidak sekadar bangga pada kain, tapi juga pada tanah yang melahirkannya.
Comments