Dear Uwan Urwan, Aku tahu, kau sibuk. Pekerjaan menumpuk, deadline tak kenal waktu, dan hiburan di layar seolah menjadi pelarian. Tapi izinkan aku, matamu, menulis sepucuk surat. Surat dari organ mungil yang mungkin sering kau abaikan. Padahal, setiap hari aku menjadi jendela duniamu. Aku mengajakmu membaca, menonton, bekerja, bahkan menangis dan tertawa. Namun akhir-akhir ini, aku lelah. Kau mungkin belum menyadari sinyal yang kukirim. Mata sepet di pagi hari, perih menjelang malam, dan lelah yang tak kunjung reda. Kadang aku membuatmu berair, kadang justru terasa kering dan gatal. Itu bukan tanpa alasan. Itu adalah caraku berkata: “Aku butuh istirahat. Tolong jangan paksa aku melihat terus apalagi menatap gawai pandaimu!” Tapi kau terus memaksaku. Dalam gelap maupun terang, aku dipaksa waspada. Bahkan ketika tubuhmu rebah, jari-jarimu masih mencari notifikasi. Pernahkah kau merasa seperti ada pasir menempel di kelopakmu? Atau pandanganmu kabur setelah menatap layar terlalu lama? Itu ...