Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Situbondo

Kembalikan Tajin Sora Dengan Alas Daun Pisang

Gambar dibuat dengan Gemini Setiap bulan Asyura datang, Situbondo seperti berubah menjadi kota bubur. Tapi ini bukan bubur sembarangan, melainkan tajin sora, warisan tradisi Madura yang hanya bisa ditemui setahun sekali. Tidak ada penjualnya, tidak ada kios yang buka 24 jam menjualnya, semuanya dibuat di rumah-rumah dengan hati yang lapang. Sepanjang bulan ini, tetangga saling mengantarkan tajin sora, dengan ragam topping yang berwarna-warni, dari ayam suwir hingga irisan cabai merah besar dan kuah santan kuning yang harum. Sayangnya, saat tulisan ini diposting, kita sudah hampir menutup lembar bulan Safar, masa berbagi bubur ini sudah berakhir. Namun, di balik manisnya tradisi ini, ada cerita lain, kebiasaan penyajian yang semakin praktis, tetapi juga meninggalkan jejak sampah sterofoam dan sampah kemasan yang tidak sedikit. Dari Daun Pisang ke Sampah Sterofoam  Dulu, budaya Situbondo dalam tradisi ter-ater terasa seperti lukisan masa lalu. Tajin sora disajikan di piring dengan al...

Tajin Sora Tradisi Situbondo yang Tak Dijual di Pasaran

Setiap memasuki bulan Asyura, aroma hangat tajin sora mulai merebak di gang-gang kecil kawasan Situbondo. Tapi jangan harap kamu bisa menemukannya di warung makan atau pasar kuliner. Bubur kaya topping ini bukan sekadar makanan, melainkan bagian dari tradisi Situbondo yang sarat makna dan satu hal yang membuatnya istimewa, tajin sora tidak dijual. Ia hanya muncul sekali dalam setahun dan selalu hadir lewat tangan-tangan yang mengantar, bukan menjajakan. Tradisi Madura yang Tumbuh di Tanah Tapal Kuda Gambar hasil dari Gemini Ter-ater tajin sora adalah bentuk tradisi Madura yang tumbuh kuat di kawasan tapal kuda, khususnya di Probolinggo dan Situbondo. Kata "ter-ater" sendiri dalam bahasa Madura berarti mengantarkan, namun lebih dalam maknanya memberi tanpa berharap kembali. Meski tetap ada kejadian perselisihan karena tetangga lupa (atau karena alasan khusus) melakukan timbal balik, ter-ater tajin sora, kepadanya. Di bulan Asyura, atau yang biasa disebut bulan Suro oleh masyar...

Penyair Situbondo Tak Mau Puisi Mati di Kota Sendiri

Aku masih ingat malam itu. Malam ketika suara kami akhirnya keluar dari ruang-ruang sunyi dan membaur dengan tawa orang-orang di sebuah kedai kopi. Malam ketika puisi yang lama tertidur akhirnya terbangun dan mulai mencari rumah baru di hati siapa saja yang mau mendengarnya. Sebagai pemuda Situbondo yang tumbuh dalam kebisuan kata-kata, aku tidak pernah menyangka bahwa baca puisi Situbondo bisa sehangat ini. Dan semua berawal dari keresahan kecil yang tumbuh menjadi gerakan penuh cinta dan keberanian. Kami Pemuda Situbondo yang Tidak Mau Puisi Mati Begitu Saja Bulan Juni dan Juli adalah bulan yang sibuk bagi kami para mahasiswa Situbondo yang mencintai puisi. Bersama teman-teman seperti Syarif , Iqbal , dan aku sendiri, kami memutuskan untuk tidak menunggu panggung datang. Kami menciptakan sendiri panggung itu di tengah kafe Situbondo, dengan nama kegiatan yang sederhana tetapi bermakna malam baca puisi Situbondo. Event pertama kami adakan di Stasiun Kopi Kang Dodik yang terletak di S...

Datang Malam ke Situbondo Jangan Harap Bisa Makan Tajin Palappa

Masa sih makanan khas cuma dijual pagi hari? Itulah pertanyaan pertama yang dilontarkan temanku dari luar kota ketika kami gagal menemukan satu pun penjual tajin palappa di Situbondo saat matahari sudah condong ke barat. Ia tertawa getir, lalu berkata, “Apa mereka nggak pengen untung lebih?”  Aku cuma bisa membalas senyum, sambil menahan geli yang getir juga. Karena memang benar, di kota kecil ini, ada satu jenis makanan Situbondo yang bisa menghilang lebih cepat dari perasaan mantan, tajin palappa. Coba cari malam hari, jangankan di pinggir jalan, di dalam mimpi pun tidak akan muncul. Sebagai warga lokal yang sudah akrab dengan kuliner Situbondo sejak kecil, aku paham rasa kecewa itu. Tapi mungkin justru di situlah keistimewaannya. Tajin palappa adalah rasa yang hanya hadir di pagi hari dan ia tidak akan menunggu siapa pun yang terlambat bangun. Tajin Palappa Cuma Pagi Kenapa Harus Seribet Itu? Penampakan tajin palappa sebelum disiram bumbu kacang Kalau kamu belum pernah mencicipi...

Mie Ayam Situbondo Ini Tidak Hanya Enak, Tapi Mengerti Perasaan

Beberapa orang mungkin punya cara mahal untuk merayakan gajian, yaitu belanja baju baru, staycation, atau ngopi cantik. Tapi aku? Cuma butuh es tebu dan semangkuk mie ayam enak di warung kecil bernama Mie Ayam Tunggal Rasa. Simpel. Murah. Tapi cukup bikin dada hangat. Hari itu, aku cuma ingin menyenangkan diri sendiri. Setelah belanja perlengkapan untuk kucing, ya, kucingku duluan yang dapat jatah gajian, aku menepi, menarik napas, dan bertanya pada diriku, "Apa ya yang bisa bikin hidupku terasa manis hari ini?" Jawabannya adalah mie ayam. Dan seperti panggilan semesta, aku pun mampir ke salah satu kuliner Situbondo yang diam-diam jadi favoritku. Bukan Warung Biasa, Tapi Warung yang Pernah Menyelamatkan Hariku Aku pertama kali makan di Mie Ayam Tunggal Rasa karena diajak teman. Satu kali makan, aku langsung klik sama rasanya. Nggak lebay, tapi cukup buat bikin lidah percaya diri bilang, “Ini dia, mie ayam Situbondo yang aku cari.” Lokasinya gampang dicari, yaitu di Jl. Basuk...

Yang Lain Lihat Selempangnya, Gustaf Jalani Prosesnya

“Menang duta wisata? Buat apa? Lagian impact-nya juga nggak keliatan.” Pernah mendengar omongan seperti itu? Mungkin bukan kamu, tapi Gustaf Nafi Isbat yang mendengarnya. Bagaimana rasanya jika kamu yang mendengar celetukan seperti itu di saat kamu memenangkan sebuah kompetisi? Ya bisa kompetisi apa saja. Akankah kamu menghajar orang itu atau malah menangis? Bukti Kalau Selempang Bukan Pajangan Gustaf Nafi Isbat dan Annisa Putri Chesillia Haq, pasangan Kakang Embug Situbondo  “Waktu aku terpilih sebagai Kakang Embhug Situbondo, banyak yang bangga, tapi nggak sedikit juga yang sinis,” ungkap Gustaf pasca kemenangannya di beberapa duta wisata baik lokal atau pun tingkat Jawa Timur. Banyak yang menganggap selempang hanya simbol dan foto kemenangan hanya untuk pamer di Instagram. Padahal, kerja keras dimulai justru setelah panggung selesai. Gustaf dan para duta wisata lainnya turun langsung ke lapangan: promosi pariwisata, bantu dinas-dinas di daerah, jadi MC warga, sampai ikut pelatih...

Film Lastarè dan Wrapped, Disambut Hangat di Jember

Produser dan sutradara film Lastarè dan Wrapped berfoto bersama Ada rasa yang berbeda saat aku menatap layar lebar di kota yang bukan rumahku. Bukan karena perjalanannya yang jauh dari Situbondo, bukan pula karena ini kali pertama Film Lastarè diputar di luar kota. Tapi karena aku merasa membawa “rumah” ke tempat baru. Dan malam itu, screening film di Jember bukan sekadar pemutaran, ia jadi ruang temu, ruang bicara, ruang luka yang akhirnya didengar. Aku tak tahu pasti sejak kapan aku mulai menganggap film sebagai cara untuk menyembuhkan. Tapi malam itu, di Grand Valonia Hotel Jember, aku tahu, setiap adegan dalam Film Lastarè, setiap luka yang dipaparkan dalam Wrapped, adalah jendela untuk melihat ke dalam diri sendiri. Ketika Komunitas Film Situbondo Membawa Luka ke Kota Sebelah Suasana makin hangat dengan penampilan pembacaan puisi oleh Eka Widyah dan Andhini Rahmania Acara “Dua Film, Satu Rasa, Satu Malam” yang digagas Pintu Project bersama Jawara Film menjadi pemutaran keempat Fil...

Film Lastarè Diputar di Pendopo, Bupati Situbondo Bangga Tapi Aku Lebih Bahagia

Dukungan Bupati Situbondo kepada Komunitas Film Situbondo menyemangati kami Pendopo itu tidak pernah sehangat ini. Bukan karena udara Situbondo yang belakangan makin gerah, tapi karena malam itu, kursi-kursi yang biasa ditempati pejabat dan tamu undangan, dihuni oleh kami, para sineas muda dengan mata berbinar. Film Lastarè, film pendek Situbondo yang kuproduseri bersama Pintu Project, akhirnya diputar di ruang sakral, yang terbuka bagi siapa yang tertarik menonton. Aku tidak sedang bermimpi. Ini nyata. Dan meski Bupati Situbondo berhalangan hadir, sambutan virtualnya membuat langkahku malam itu terasa lebih mantap. Bukan Sekadar Diputar, Tapi Duduk Bersama Sineas Situbondo Adalah Sebuah Penghormatan Sutradara film Lastarè duduk bersama Sutradara film Wrapped dan film Bising, juga bersama kurator dan penikmat film Duduk sebagai penonton saat Film Lastarè diputar di Pendopo Situbondo adalah momen yang tidak akan cepat pudar dari ingatanku. Kursi itu, kini menyuguhkan hasil kerja keras k...

Lastarè dan Dua Film Lainnya Membuat Situbondo Tak Lagi Sama

Foto bersama usai screening film Lastarè, Tabir, dan Wrapped di Dua Belas Space, Situbondo (fotografer: Rio Tajul Amin) Aku masih ingat malam itu, 17 Mei 2025. Langit Situbondo sedang moody , seperti menahan air mata di pelupuk. Tapi di halaman Dua Belas Space, ada harapan kecil yang sedang kami jaga agar tak larut dalam gerimis. Malam itu, aku, Uwan Urwan, bersama teman-teman dari Pintu Project, kembali membawa film pendek Lastarè berjalan-jalan. Setelah premiere di Hotel Rosali menjelang Ramadan lalu, kali ini kami ingin mengenalkan karya ini lebih luas, tak hanya sebagai tontonan, tapi juga sebagai cerminan: bahwa komunitas film Situbondo juga punya suara, punya cerita, dan punya harapan. Pintu Project Gandeng Jawara Film dan Ganesha Creative di Malam Screening Film Situbondo Screening film Lastarè, Tabir, dan Wrapped (Fotografer : Rio Tajul Amin) Dua Belas Space, kafe sekaligus ruang kerja kreatif pertama di Situbondo, menjadi titik kedua dari perjalanan film pendek Lastarè. Sebua...