Produser dan sutradara film Lastarè dan Wrapped berfoto bersama Ada rasa yang berbeda saat aku menatap layar lebar di kota yang bukan rumahku. Bukan karena perjalanannya yang jauh dari Situbondo, bukan pula karena ini kali pertama Film Lastarè diputar di luar kota. Tapi karena aku merasa membawa “rumah” ke tempat baru. Dan malam itu, screening film di Jember bukan sekadar pemutaran, ia jadi ruang temu, ruang bicara, ruang luka yang akhirnya didengar. Aku tak tahu pasti sejak kapan aku mulai menganggap film sebagai cara untuk menyembuhkan. Tapi malam itu, di Grand Valonia Hotel Jember, aku tahu, setiap adegan dalam Film Lastarè, setiap luka yang dipaparkan dalam Wrapped, adalah jendela untuk melihat ke dalam diri sendiri. Ketika Komunitas Film Situbondo Membawa Luka ke Kota Sebelah Suasana makin hangat dengan penampilan pembacaan puisi oleh Eka Widyah dan Andhini Rahmania Acara “Dua Film, Satu Rasa, Satu Malam” yang digagas Pintu Project bersama Jawara Film menjadi pemutaran keempat Fil...
Dukungan Bupati Situbondo kepada Komunitas Film Situbondo menyemangati kami Pendopo itu tidak pernah sehangat ini. Bukan karena udara Situbondo yang belakangan makin gerah, tapi karena malam itu, kursi-kursi yang biasa ditempati pejabat dan tamu undangan, dihuni oleh kami, para sineas muda dengan mata berbinar. Film Lastarè, film pendek Situbondo yang kuproduseri bersama Pintu Project, akhirnya diputar di ruang sakral, yang terbuka bagi siapa yang tertarik menonton. Aku tidak sedang bermimpi. Ini nyata. Dan meski Bupati Situbondo berhalangan hadir, sambutan virtualnya membuat langkahku malam itu terasa lebih mantap. Bukan Sekadar Diputar, Tapi Duduk Bersama Sineas Situbondo Adalah Sebuah Penghormatan Sutradara film Lastarè duduk bersama Sutradara film Wrapped dan film Bising, juga bersama kurator dan penikmat film Duduk sebagai penonton saat Film Lastarè diputar di Pendopo Situbondo adalah momen yang tidak akan cepat pudar dari ingatanku. Kursi itu, kini menyuguhkan hasil kerja keras k...