Waktu itu aku lagi makan siang sendirian, gabut, dan iseng buka aplikasi streaming. Niatnya cari tontonan ringan, film Indonesia aja, biar deket dan relate. Lalu mataku tertumbuk pada A Normal Woman. Aku sempat ragu, karena beberapa hari sebelumnya temanku bilang film ini agak mengecewakan. Tapi justru karena itulah aku jadi penasaran. Apa iya, film seintens ini gagal menyampaikan pesannya?
Film ini dibuka dengan lagu klasik Que Sera Sera. Liriknya: Will I be pretty? Will I be rich? langsung bikin aku merasa, “Kayaknya ini bukan film biasa.” Dan bener aja, lagu itu jadi semacam simbol seluruh isi film: ekspektasi sosial, keindahan semu, dan perempuan yang hidup dalam tekanan.
Di Balik Rumah Mewah dan Senyum yang Dipaksakan
Menonton A Normal Woman rasanya seperti mengintip kehidupan orang lain yang terlihat sempurna dari luar, tapi ternyata rapuh dan penuh luka dari dalam. Film ini bercerita tentang Milla, seorang perempuan keturunan Tionghoa yang hidup dalam lingkaran sosialita, kemewahan, dan ekspektasi sosial. Namun di balik semua itu, ada gejolak yang tak bisa disembunyikan, gejolak dalam keluarga, dalam peran sebagai ibu, dan dalam dirinya sendiri.
Satu hal yang langsung mencuri perhatian sejak awal adalah akting para pemainnya. Aku sampai berkali-kali berhenti bernapas karena ekspresi Milla yang begitu hidup. Ia bisa terlihat sangat kuat di satu momen, lalu seketika tampak rapuh di momen berikutnya. Jonathan, anak laki-lakinya, diperankan dengan sangat meyakinkan, ia bukan hanya sekadar anak mami, tapi juga simbol dari luka yang diwariskan secara tidak sadar oleh orang tua.
Artistik dalam film ini juga patut diacungi jempol. Rumah mewah yang menjadi lokasi utama tak hanya menjadi latar, tapi juga cermin dari kepribadian para tokohnya. Dinding hitam yang membingkai lorong menuju kamar-kamar terasa dingin dan penuh tekanan. Warna-warna gelap tak hanya memberi kesan elegan, tapi juga menyiratkan kegelisahan yang tersembunyi. Bahkan hal kecil seperti bonsai yang ditaruh di dalam rumah pun terasa simbolik, seolah hidup yang dibentuk, dipaksa rapi, dan tak boleh tumbuh liar.
Ada juga hal menarik yang sangat mencerminkan realita, bagaimana orang Tionghoa di Indonesia masih sering hidup dalam lingkaran sesama. Mereka kaya, mereka saling menikah dalam satu komunitas, dan semua itu terasa sangat nyata dalam narasi film ini.
Namun yang paling membuatku takjub adalah bagaimana film ini menyisipkan elemen halusinasi. Aku bahkan sempat mengira ini film horor. Cara penggambaran halusinasi Milla terasa begitu nyata, mencekam, tapi tetap menyentuh. Hal itu justru memperkuat pesan tentang kesehatan mental. Tentang bagaimana seseorang bisa tampak baik-baik saja, padahal dalam pikirannya ia terus bertarung.
Film ini menampilkan wajah-wajah perfeksionis yang menua dalam tekanan. Ambisi orang tua yang terlalu tinggi membuat anak tumbuh tanpa ruang menjadi diri sendiri. Jonathan jadi contoh nyata: ia tampak manis, patuh, bahkan menyenangkan, tapi di balik itu, ada sisi positif-toxic yang pelan-pelan terbangun. Ia selalu ingin menjadi sempurna demi ibunya, demi keluarga, tanpa tahu bahwa dirinya pun boleh punya batas.
Yang mengharukan, justru adalah sosok Milla sebagai ibu. Meski keras pada diri sendiri dan pada Jonathan, ia menunjukkan kasih sayang yang sangat dalam kepada Angel, anak perempuannya. Ada pelukan hangat yang jujur, ada perhatian kecil yang penuh cinta. Seolah film ini ingin bilang: manusia tak pernah sepenuhnya buruk atau baik, hanya sering kali terluka dan tak tahu bagaimana cara sembuh.
Menonton A normal Woman dengan Catatan yang Belum Terjawab
Meski film A Normal Woman menyuguhkan lapisan cerita yang menggugah, bukan berarti film ini tanpa cela. Justru di balik tampilannya yang elegan dan alurnya yang dramatis, ada beberapa catatan yang rasanya perlu dibicarakan.
Pertama, soal logat Surabaya. Film ini menggambarkan Milla, Erica, dan ibunya berasal dari Surabaya, tapi cara mereka berbicara terasa janggal. Logatnya setengah-setengah, seperti dibuat-buat. Tidak sepenuhnya medok, dan bahasanya tidak seperti orang Surabaya sedang mengobrol. Alih-alih menambah kekhasan karakter, logat ini malah terasa mengganggu. Mungkin akan lebih baik jika mereka menggunakan Bahasa Indonesia saja dengan sedikit aksen, tanpa berusaha meniru cece-cece Surabaya yang terkesan karikatural. Toh, tokohnya sudah lama tinggal di Jakarta, bukan?
Lalu, dari segi durasi, film ini terasa terlalu panjang, tapi ironisnya, masih menyisakan banyak lubang dalam cerita. Erika, misalnya, baru muncul setelah film berjalan hampir satu jam. Padahal ia adalah pemicu penting dalam konflik utama. Kehadirannya yang terlambat dan latar belakang yang kurang digali membuat karakternya terasa tempelan, bukan bagian utuh dari cerita. Ditambah lagi, motivasinya terasa dipaksakan, kenapa tiba-tiba begitu dekat dengan Jonathan dan betah di rumah itu, bahkan setelah pesta usai?
Satu hal lagi yang cukup mengganggu adalah soal kecelakaan yang dialami Milla saat remaja. Ia diceritakan kejatuhan kaca hingga wajahnya rusak dan kehilangan ingatan. Tapi luka sebesar itu akibat kaca rasanya agak kurang masuk akal. Jika digambarkan sebagai kecelakaan mobil atau insiden yang lebih ekstrem, barangkali dampaknya akan lebih bisa diterima secara emosional dan logis.
Di luar itu, meski tokoh Erika dibangun sebagai perempuan yang genit dan ambisius, ia justru kehilangan arah saat harus memilih antara prinsip dan kelangsungan hidup. Ketika ditawari “bayaran tubuh” oleh pemilik apartemen, ia justru sok jual mahal, padahal sejak awal ditampilkan hidupnya sangat sulit. Inkonsistensi ini membuat karakter Erika terasa kurang utuh.
A Normal Woman bukan sekadar drama keluarga, tapi cermin yang memantulkan luka-luka sunyi yang sering tersembunyi di balik rutinitas dan senyum ramah. Film ini mengajak kita melihat bahwa menjadi perempuan yang “normal” dalam arti sempurna, lembut, dan selalu bisa diandalkan bukan hanya melelahkan, tapi kadang melukai diri sendiri secara perlahan.
Comments