Di balik rindangnya hutan, ada kehidupan. Ada kearifan. Ada cinta yang diwariskan turun-temurun. Aku belajar semua itu dari mereka, masyarakat adat yang menjaga hutan seperti menjaga rumahnya sendiri.
Hutan Adat Lebih dari Sekadar Pohon
Saat nonton live di Instagram @ecobloggersquad di Festival Lestari, aku merasa terdiam. Ternyata, hutan adat itu bukan cuma tentang pohon yang tinggi atau udara yang sejuk. Hutan adat adalah kehidupan. Masyarakat yang tinggal di sana tidak hanya menjaga hutannya, tapi mereka juga menggantungkan hidupnya pada hutan itu. Bukan dengan cara merusak, tapi dengan cara yang justru memperpanjang umur hutan itu sendiri.
Di Kalimantan Barat, pangan lokal bukan sekadar makanan yang tumbuh di sekitar rumah. Pangan lokal di sana adalah inovasi. Mereka mengenal hutan seperti mengenal diri mereka sendiri. Ada peta wilayah yang mereka pahami, ada sistem berladang berpindah yang mereka jalani dengan penuh kesadaran. Mereka tahu kapan harus mengambil, kapan harus memberi waktu pada hutan untuk pulih. Dan semua itu sudah mereka lakukan jauh sebelum kita ramai-ramai bicara tentang pelestarian.
![]() |
Belajar tentang hutan selalu bikin tenang |
Masyarakat adat itu visioner. Mereka berladang di satu tempat hanya 1-2 tahun, lalu pindah agar tanah bisa bernapas. Mereka tidak rakus. Mereka tidak menghabiskan. Mereka menjaga. Mereka tahu bahwa hutan harus tetap hidup agar anak cucu mereka juga bisa hidup.
Restorasi hutan? Buat mereka itu bukan istilah baru. Mereka sudah melakukannya sejak lama. Mereka hidup berdampingan dengan alam, bukan bertarung melawan alam.
Dari mereka, aku belajar bahwa melestarikan hutan tidak harus mengorbankan penghidupan. Mereka tetap bisa berkarya, tetap bisa makan, tetap bisa menjalani hidup dengan layak—tanpa harus menebang semuanya.
Ekonomi Lestari Itu Nyata
![]() |
Acara seru tak hanya belajar tentang hutan adat tapi juga pemanfaatannya dalam karya seni |
Gathering Nature’s Artisans di TIM membuka mataku. Ternyata ekonomi lestari itu bukan mimpi kosong. Mereka memulihkan ekonomi mereka yang sempat turun, tapi tetap hadir untuk bumi. Mereka nggak memilih antara menyelamatkan hutan atau mengisi dapur. Mereka memilih dua-duanya.
Kreativitas mereka juga luar biasa. Mereka mengolah hasil hutan jadi produk bernilai: ada yang dikeringkan seperti herbal, ada yang difermentasi seperti tempoyak, ada yang diasap seperti ikan. Semua diambil dengan bijak dan digunakan dengan bijak.
Aku baru tahu ada "Tembawang", hutan pangan warisan leluhur di Kalimantan Barat. Dari sini, masyarakat hidup damai dan berkecukupan, tanpa meninggalkan kewajiban untuk menjaga. Bahkan ada "Bawang Dayak", penyedap alami yang rasanya unik, dan ada Sengkubak, bahan pangan lokal yang bisa munculin rasa gurih alami. Ternyata hutan adat itu kaya rasa, kaya cerita.
Mereka juga menanam padi, jahe Liak, dan banyak pangan lokal lain yang belum tentu kita kenal. Hutan mereka, dapur mereka. Hutan mereka, hidup mereka.
Saat ini sudah ada 9 kabupaten yang bergabung dalam koalisi restorasi hutan, dari Sumatra, Kalimantan, hingga Sulawesi. Mereka bareng-bareng bergerak supaya hutan tetap hidup dan lestari. Mereka menciptakan model pembangunan yang bisa ditiru oleh kabupaten lain di Indonesia.
Tapi sayangnya, masih banyak hutan yang belum mencapai potensi terbaiknya. Kalau saja semua bisa belajar dari masyarakat adat, hasilnya pasti luar biasa. Mereka nggak cuma menjaga pohon, mereka menjaga masa depan.
Mimpi mereka besar: hasil pangan hutan bisa diolah, dimanfaatkan sepenuhnya, bahkan diekspor. Mereka ingin sejahtera bareng, tanpa meninggalkan alam.
Seni dari Alam
![]() |
Daun-daun kering yang biasanya cuma akita injak, ternyata bisa jadi karya seni yang menakjubkan |
Di Festival Lestari bersama #EcoBloggerSquad, ada juga kegiatan bikin kolase dari bahan-bahan alam. Daun kering disusun, dipotong, ditempel, jadi karya estetik yang bernilai jual. Ternyata daun pun bisa punya makna. Bisa jadi peluang. Bisa jadi jalan penghidupan.
Buatku, keseruan itu nggak cuma di hasil karyanya. Tapi di prosesnya. Saling ngobrol, saling ketawa, bikin suasana hangat dan akrab. Bikin aku sadar, dari alam pun kita bisa berkarya sambil jaga bumi.
Hutan bukan cuma ‘tempat’. Hutan adalah sekolah. Hutan adalah dapur. Hutan adalah rumah. Dan masyarakat adat sudah membuktikan itu sejak dulu. Mereka ngajarin kita untuk jadi manusia yang tahu diri: ambil secukupnya, jaga sisanya buat nanti.
Kalau mereka bisa, kenapa kita nggak?
Comments