Kabut tipis menyelimuti udara pagi itu, ketika aku duduk menatap layar laptop. Aroma tanah basah setelah hujan malam masih terasa, seakan merembes hingga ke dalam ruanganku. Suara bambu beradu tertiup angin di luar jendela membuatku teringat pada musik tradisional yang sering dimainkan di kampung-kampung adat. Namun, di tengah keindahan itu, pikiranku justru resah.
Ada getaran halus di dada, seperti sedang menunggu kabar buruk. Dan benar saja, Zoom meeting COP30 yang kuikuti malam itu membuka mataku, bahwa di balik keindahan zamrud dunia, ada cerita panjang tentang penindasan yang terus dialami masyarakat adat.
Derita Yang Dialami Masyarakat Adat Terjadi Di Seluruh Dunia
Aku terkejut mendengar kisah yang datang bukan hanya dari Indonesia, tapi juga dari Amerika Latin, Afrika, hingga negara-negara kepulauan yang perlahan tenggelam. Sungguh, pola penderitaannya mirip, yaitu lahan-lahan adat yang dijaga turun-temurun justru jadi sasaran empuk bisnis besar. Perusahaan tambang datang dengan izin negara, hutan adat ditebang untuk food estate, tanah diambil alih untuk energi “hijau” yang ironisnya tak pro-lingkungan. Diskriminasi, kriminalisasi, hingga pengusiran paksa masih dialami, seolah-olah masyarakat adat bukan pemilik sah dari tanah tempat mereka lahir dan tumbuh.
Di sesi itu, Rukka Sombolinggi dari AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) bercerita bagaimana hutan-hutan terbaik Indonesia, Papua, Kalimantan, Sulawesi, dirusak atas nama transisi energi. “Bahkan ketika Mahkamah Konstitusi mengakui hutan adat milik masyarakat adat, hasil karbonnya tetap diambil negara,” katanya. Kalimat itu menusukku. Rasanya seperti seseorang yang mengakui rumahmu sah milikmu, tapi seluruh isinya dirampas. Aku terdiam, menelan getir.
Bukan hanya di Indonesia, di negara lain pun terjadi hal serupa. Di Amerika Latin, masyarakat adat Amazon menghadapi deforestasi demi pasar karbon. Di negara-negara kaya minyak, suara masyarakat adat tenggelam oleh industri fosil. Bahkan ada negara kecil di bawah laut yang hampir lenyap karena krisis iklim, sementara mereka yang tidak bersalah harus menanggung dampaknya. Betapa ironis, yang menjaga bumi justru yang jadi korban.
Dalam sesi Zoom itu, Laila Zaid dari Brasil menekankan pentingnya COP30 yang tahun ini diselenggarakan di jantung hutan Amazon. Katanya, dunia harus menyaksikan sendiri deforestasi yang nyata dan menyakitkan, serta melihat bagaimana masyarakat adat masih berdiri sebagai benteng terakhir ekosistem. Lucia Ixchiu dari Spanyol menambahkan: “Kita harus kembali merasakan akar kita, di mana masyarakat adat tumbuh bersama pepohonan, bukan melawan mereka.” Kata-kata itu membuatku tercekat. Aku membayangkan tawa anak-anak adat di sekolah-sekolah sederhana, aroma asap unggun di malam hari, kain tenun warna-warni yang mulai pudar, semuanya perlahan tergerus arus globalisasi yang kejam.
Yang lebih menyedihkan, pendanaan global yang katanya untuk mendukung masyarakat adat sering hanya berhenti di meja lembaga perantara. Uangnya jarang benar-benar sampai ke kampung-kampung. Padahal, seperti yang ditekankan AMAN, masyarakat adat lah yang menjaga sebagian besar ekosistem terbaik dunia. Bumi masih bisa bertahan karena ada mereka. Tapi, dunia seakan lupa, tanpa dukungan nyata, penjaga bumi ini bisa hancur.
Apa Yang Bisa Kita Lakukan Untuk Menolong Masyarakat Adat Dan Lingkungan?
Aku merenung lama setelah Zoom itu selesai. Ada rasa bersalah sebagai bagian dari masyarakat urban yang kadang abai. Kita sibuk dengan lampu neon kota, mesin ATM, dan angka-angka ekonomi, sementara di pelosok negeri ada masyarakat yang harus kehilangan tanah demi “pembangunan” yang tidak selalu berpihak pada manusia. Mereka tidak menolak pembangunan. Yang mereka tolak adalah pembangunan yang berdiri di atas darah, air mata, dan kepunahan budaya.
COP30 memberi sedikit harapan. Pertemuan hampir 200 negara itu memang sulit mencapai kesepakatan, karena ada negara miskin yang merasa dizalimi, ada negara kaya minyak yang enggan berubah. Tapi setidaknya, isu masyarakat adat kini lebih lantang terdengar. Mereka punya panggung untuk bicara, untuk menuntut perlindungan hak kolektif, penghentian kriminalisasi, dan akses pendanaan langsung.
Lalu, apa yang bisa kulakukan, kita lakukan? Mungkin aku bukan pejabat tinggi yang bisa mengetuk palu keputusan global. Tapi aku bisa ikut menyuarakan. Bisa menulis, bisa berbagi cerita, bisa membuat orang lain peduli. Sebab semakin banyak orang tahu, semakin besar tekanan moral bagi pemimpin dunia untuk benar-benar bertindak.
Aku percaya, masyarakat adat bukan sekadar subjek penderitaan. Mereka adalah mitra sejati dalam menjaga bumi. Mereka adalah guru yang mengajarkan harmoni, penjaga hutan, pemelihara sungai, dan penyimpan pengetahuan kuno yang bisa menyelamatkan kita dari krisis.
Di akhir tulisanku ini, aku ingin mengajak mari berhenti melihat masyarakat adat sebagai bagian kecil dari laporan COP30 semata. Lihatlah mereka sebagai bagian dari masa depan kita bersama. Kalau bumi masih punya harapan, itu karena ada masyarakat adat. Dan tugas kita adalah berdiri di belakang mereka, bersuara untuk mereka, dan bergerak bersama mereka.



Comments