Aku duduk di tengah ruangan Dua Belas Space, dikelilingi wajah-wajah yang tenang namun penuh semangat. Hari itu, 25 April 2025, aku merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Sebuah kehormatan bisa menghadiri launching album Stilasi sekaligus pemutaran music video "Mesem" garapan Nusantara Rythem. Tak hanya itu, diskusi budaya bersama Mas Rendra Agusta dan pemaparan dari Mas Ali Gardy Rukmana membuat sore itu terasa penuh makna.
Ada rasa haru ketika menyaksikan video "Mesem"—tentang teman-teman difabel Situbondo. Rasanya seperti sedang menatap cermin, menyadari bahwa mereka adalah bagian dari kita, hanya dalam bentuk yang lebih istimewa. Lebih dari itu, pertemuan itu membawaku pada momen perenungan panjang, tentang musik, tentang budaya, dan tentang siapa kita sebagai manusia.
Stilasi, Bunyi yang Lahir dari Perenungan
Album Stilasi bukan sekadar kumpulan musik—ia adalah refleksi panjang, perenungan dalam tentang budaya dan identitas. Karya ini digarap oleh Indradhanu dan Ali Gardy, dua nama yang tak hanya menggarap nada, tetapi juga menyulam makna. Di dalamnya, ada sepuluh trek yang terasa begitu akrab namun juga mengandung lapisan-lapisan kedalaman: Sido Asih, Sido Mukti, Sido Luhur, Tasik Malaya, Singa Barong, Paraikatte, Batang Haring, Angsa Duo, Merak Ngibing, dan Kawung. Nama-nama itu berasal dari motif batik—sebuah warisan budaya Nusantara yang ditarik ke dalam dunia bunyi. Musik dan batik berpadu, menjelma jadi narasi baru yang mengajak pendengarnya menyelam lebih dalam ke akar budaya.
Yang membuat album ini semakin hidup adalah kehadiran cerpen-cerpen yang lahir dari musiknya. Cerpen tersebut ditulis oleh Ali Gardi, bukan sebelum lagunya tercipta, tapi setelah Jefribagusp mendengarkannya. Artinya, proses kreatif ini berjalan dua arah: musik mengilhami tulisan, tulisan memperkaya musik. Setiap nada seperti membisikkan kisah, membuka ruang-ruang imajinasi yang selama ini tersembunyi. Ini bukan relasi satu arah, tapi dialog sunyi antara suara dan kata, antara batin dan batin yang lain.
Mendengarkan Stilasi seperti menyesap teh hangat di sore yang lengang. Tak perlu dipahami sepenuhnya untuk dinikmati. Ia bisa menemanimu bekerja, merenung, atau sekadar duduk diam dengan pikiran yang melayang. Ada keheningan yang hadir bersama musiknya—hening yang mengajak berdamai, bukan melarikan diri. Album ini tak memaksa kita mengerti, tapi justru merangkul lewat rasa. Seperti teman lama yang datang diam-diam, tak banyak bicara, tapi keberadaannya begitu menguatkan.
Ali Gardi bukan sekadar musisi. Ia adalah penjelajah bunyi. Ia bercerita tentang alat musik yang memiliki kemiripan dengan instrumen kuno yang ditemukan di relief Candi Borobudur. Baginya, musik bukan hanya soal nada, tapi juga soal sejarah dan kebudayaan. Melalui konsep stilasi, ia menyederhanakan ulang pola dan bentuk, meminjam semangat dari batik dan menerjemahkannya dalam musik.
Rendra dan Jejak Situbondo dalam Manuskrip Nusantara
Diskusi sore itu terasa berbeda ketika Mas Rendra Agusta, peneliti naskah kuno asal Solo, naik ke panggung. Dengan gaya penyampaian yang tenang namun mengalir, ia membawa kami menyusuri lorong-lorong waktu. Materi yang disampaikan memang tidak ringan, tapi mengandung daya pikat yang tak biasa. Ia bercerita bagaimana Situbondo sejak abad ke-2 telah menjadi ruang kosmopolitan, tempat pertemuan berbagai kebudayaan—bukan hanya dari nusantara, tapi juga dari luar. Salah satu hal paling menarik adalah ketika ia menyebut bagaimana genetika Madura memiliki keterkaitan erat dengan India Selatan. Jejak sejarah ini bukan dongeng, tapi tertulis dalam naskah dan terpatri dalam relief peninggalan masa silam.
Rendra membawa kami merenungkan ulang makna "nusantara". Bahwa sejatinya, nusantara bukan milik satu budaya, tetapi kolaborasi banyak identitas. “Gnothi seauton,” katanya, mengutip filsafat kuno: mengenal dirimu sendiri. Dari situlah budaya tumbuh. Ia mengajak kami mengenali kembali siapa kita sebenarnya, lewat naskah, musik, rupa, dan interaksi sosial yang terus bergulir. Dalam pandangannya, masa lalu bukan sekadar romantisme, melainkan kompas untuk memahami masa depan.
Ia menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor—seniman, akademisi, swasta, pemerintah, masyarakat—semua punya peran dalam membangun kebudayaan yang hidup. Menurutnya, seni bukan hanya urusan estetika, tapi juga sarana simbolik dan sosial, bahkan memiliki nilai ekonomi yang dapat menyentuh lebih banyak orang. Dalam bahasanya yang lugas, Rendra menyinggung bagaimana seniman kerap terjebak dalam ekonomi semata. Padahal, seni yang hidup adalah seni yang mampu merangkul sisi sosial dan budaya, seni yang membumi dan berpijak pada manuskrip dan cerita manusia itu sendiri.
Yang paling mengena adalah ketika ia menyarankan agar seniman tidak hanya menetap di studio atau galeri. Mereka harus turun ke desa, ke jalanan, ke manuskrip, ke teknologi. Harus ada keberanian untuk berbaur, berdialog, dan membongkar batas-batas lama. Ia bahkan menyebut pentingnya membuat diskusi keliling, membuat suvenir, kolaborasi dengan film, buku, dan musik. Sebab hanya dengan cara inilah, kebudayaan bisa kembali hidup—tidak membatu dalam lembar sejarah, tapi berdenyut di tengah masyarakat. Di titik inilah, Situbondo tak lagi hanya sebuah kota kecil di peta. Ia menjadi ruang penting dalam peta budaya Nusantara.
"Mesem", Senyum untuk yang Istimewa
Sore itu, kami sekumpulan pemuda dan pemudi Situbondo adalah penonton pertama yang menyaksikan video musik "Mesem". Lagu yang terbit pada 2023 itu, kini diaransemen ulang dan dibuatkan videonya. Namun yang paling menyentuh, adalah kenyataan bahwa video ini dipersembahkan untuk teman-teman difabel di Situbondo.
Kata "Mesem" berarti senyum. Dalam video ini, senyum menjadi bahasa universal yang bisa dimengerti siapa saja, tanpa perlu kata. Mereka yang tak bisa melihat, mendengar, berjalan seperti kita—tetap bisa merasakan, tersenyum, dan dicintai.
Video ini juga didedikasikan untuk mengenang Arneta, adik dari salah satu sahabat Nusantara Rythem, yang telah berpulang dengan damai.
Sebagai bagian dari anak muda Situbondo, aku merasa bangga sekaligus terpukul. Bangga karena ada musisi lokal yang melahirkan karya sebesar ini. Terpukul karena sadar, masih banyak hal yang belum aku lakukan.
Karya ini adalah pertemuan antara musik lokal, sejarah, dan inklusivitas. Ia membuka dialog tentang masa lalu, merayakan keberagaman hari ini, dan menawarkan harapan untuk masa depan.
Tak Sekadar Bunyi
Acara ini menyentuhku secara pribadi. Ia seperti menyentil sisi dalam diriku yang selama ini sibuk mencari makna. Musik tak hanya untuk didengar, tapi juga dirasakan. Dalam Stilasi, aku menemukan suara-suara yang lama bersembunyi di balik sejarah dan tubuh-tubuh yang terlupakan.
Terima kasih untuk Nusantara Rythem, Mas Ali, Mas Rendra, dan semua yang terlibat. Terima kasih sudah mengingatkan bahwa budaya adalah rumah, dan kita semua punya tanggung jawab untuk menjaganya. (Kredit foto: Dhimas Ramadhan)
Comments