Skip to main content

Posts

Super Didi, Film untuk Ayah

Ayah menghabiskan waktu lebih banyak di luar untuk menghidupi keluarga, tapi mendapatkan cinta lebih sedikit dari anak-anaknya.      Pada suatu pagi, dua anak perempuan kecil mengendap-endap masuk ke dalam sebuah kamar. Di dalam kamar, tergeletak pulas seorang laki-laki, Arka (Vino G Bastian), yang tak lain ayah mereka. Setibanya di atas kasur, kedua anak itu mencorat-coret wajah ayah mereka dengan lipstik. Beberapa saat kemudian sang ayah terbangun dan keceriaan pun bermula.      Pengantar di atas adalah cuplikan awal film Super Didi, yang diproduseri Reymund Levy. Menyentuh sampai detik terakhir, hingga menggugah untuk mengulang tiap adegan dari awal. Film ini berkisah tentang keluarga semikomedi.      Pada awalnya sang ayah dan istrinya, Wina (Karina Nadila) melakukan rutinitas seperti biasa dengan pembagian seimbang. Tapi mendadak Wina harus ke Hongkong selama dua minggu. Secara kebetulan, perusahaan Arka menaruh tanggung jawab padanya untuk mengerjakan proyek besar, deadli

Sembuh Tuberkulosis Gratis

     Masih lekat dalam ingatan kisah Eis dan Aria setahun silam (baca: Senandung Pilu Bcah ODHA Telan TB). Aria, bocah sembilan tahun penderita AIDS juga menderita TB tahun 2013. Beberapa bulan kemudian setelah Eis berkisah, Aria ditarik dari dunia. Tugasnya di bumi telah usai. Tingal cerita-ceritanya yang patut diambil pelajarannya.      Pada Jumat, 1 April 2016, Kementerian Kesehatan mendatangkan mantan penderita tuberculosis (TB). Ada banyak bagian yang tidak dapat tersampaikan saat perempuan-perempuan itu harus menghadapi masa-masa tak menyenangkan. Ketika masih menderita TB, orang-orang sekitar mengucilkan. Tentu saja, TB tergolong penyakit menular, di mana medianya berupa angin, seperti batuk dan bersin. Itu dapat terjad pada siapa saja Bakteri resisten      TB dapat menyerang bagian lain dalam tubuh, misalnya kulit, hati, ginjal, alat reproduksi sampai ke otak. Pengobatannya akan lebih sulit jika menyerang organ penting dan sulit dijangkau. TB memang disebabkan oleh bakter

Palang Merah Indonesia, Pelabuhan Perjuangan

Saat darah tumpah, ada perjuangan yang dinobatkan. Saat memasuki jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama, saya sangat tertarik pada ekstrakurikuler Palang Merah Remaja (PMR). Ketertarikan itu tanpa sebab, seolah saya harus berjalan ke arah itu. Meski keanggotaan saya dalam organisasi tersebut hanya seumur Amaranthus sp., rasanya ada kesenangan tersendiri saat itu. Palang Merah Remaja sebagai bagian dari Palang Merah Indonesia tergolong wadah yang menjunjung kemanusiaan. Tanpa terencana,  saya diundang dalam pelatihan "Manajemen Stres" bagi corporate volunteer (Selasa, 290316) di kantor PMI Jakarta barat. Ternyata pemaparan narasumber membangkitkan kembali jiwa sosial saya. Saya bertemu beberapa volunteer yang sudah pernah ikut mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya untuk membantu orang banyak, seperti saat bencana gunung meletus di Yogyakarta, tsunami di Aceh, banjir di Jakarta, dan lain-lain. Kemudian saya sadar betapa terkurungnya hidup saya, tanpa melihat dunia

Dedikasi dan Cinta Nusantara Sehat

Bahkan yang mati pun berawal dari hidup. Manusia tidak akan pernah tahu bagaimana sakit membawa kita pada yang bernyawa atau tiada. Dedikasi dan cinta bagi saya adalah dua hal yang saling bercumbuan. Dedikasi berarti pengorbanan haiknpikiran, tenaga, dan waktu untuk mencapai titik akhir dari tujuan mulia. Sementara itu cinta adalah rasanya. Beberapa kali saya melihat orang-orang tekun dengan pekerjaannya. Mereka berangkat pagi pulang malam, mengabaikan lapar dan anggota keluarga. Sedikit waktu yang biasa mereka habiskan untuk anak dan istri mereka, tanpa mengeluhkan betapa sesaknya jadwal-jadwal kegiatan per jamnya. Itu dedikasi yang didasarkan atas cinta terhadap apa yang mereka kerjakan. Sama seperti program yang sedang digalakkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengenai "Nusantara Sehat", saya rasa itu dapat menjadi jalan bagi orang-orang yang dapat bekerja dengan cinta tanpa menutup mata. Uang memang segala-galanya untuk memenuhi hidup, tapi kebahagiaan h

HUJAN (hidden part)

Aku masih belum percaya. Beberapa menit yang lalu Rara masih berjarak semeter dari tempatku berdiri. Kini ia tak berjarak. Tubuhnya menyatu dengan tubuhku. Sepertinya dia sedang terisak-isak. Semenit.... dua menit... tiga menit.... aku masih tertegun, tak bergerak. Sementara itu kelebat orang-orang sekitar kian buram. "Jangan pergi..." bisiknya.

HUJAN ....hmm (missing part)

Sudah pukul tiga dini hari. Mataku enggan mengatup. Pikiran-pikiranku masih terbuai kenangan beberapa hari lalu. Aku meraih sesuatu dalam laci. Gelang karet pemberiannya. Gelang karet berwarna hijau, warna kesukaanku dan benda itu jadi sangat spesial. Apakah aku sudah gila? "Sebenernya elu takut kan? Elu selalu merasa cinta itu salah?" pertanyaan Rara terngiang-ngiang. Lalu pikiranku kembali padanya. Iya, dia, dia yang entahlah, aku tak ingin menyebut namanya. Iya kamu benar, Ra. Aku takut terjebak kembali dalam cinta itu. Aku sudah lama ingin berhenti, menikmati duniaku yang lain, yang lebih nyata. Kamu tahu kan seberapa parahnya aku terluka, saat aku terkubur bersama malam-malam dan siang-siang kelabu. Butuh bertahun-tahun, Ra. Dan ini tidak semudah yang kamu bicarakan. Hah, iya. Kamu tidak tahu, sebab aku tak memberitahu. Hmmm... Gelang itu kini melekat di pergelangan tanganku. Sembari membuka galeri foto di ponsel. Hmm... Ada wajahnya. Ia tersenyu

HUJAN (part 4)

Aku meninggalkan ibukota kemarin. Sisa-sisa gemuruh masih lekat di dada. Segenap hidupku lantas terasa perih. Tahu kan bagaimana perihnya luka yang ditetesi perasan air jeruk nipis. Dia—yang tak pernah mungkin kusebut namanya—pun seolah melupakan malam-malam terkasih, bulan membelai, dan jantung berdegub. "Jangan pergi," kata Rara saat mengantarkan kepergianku di Bandara Soekarno Hatta kemarin. "Tidak ada alasan untuk tinggal. Semua dunia sudah kutinggalkan, Ra." "Bagaimana dengan dia? Elu sudah nembak dia? Atau elu ditolak?" Rara terisak. Ada sedikit keriput di wajahnya yang tak bisa ditutupi sekalipun oleh bedak. "Dia itu sebenarnya tidak ada. Dia itu tokoh fiktif yang aku ciptakan sendiri." Sesederhana itu aku berkata, seperti saat kukatakan pada temanku menjelang operasi pengangkatan tumor beberapa tahun silam, "Besok aku operasi." Tapi kumohon, jangan menerka apa yang ada di dalam sana. Aku tak ingin mengenang

HUJAN (part 3)

Hujan lagi. Aku baru saja menyelamatkan cucianku yang nyaris kering dari terpaan hujan. Petir dan guntur ikut berperang. Haah, kenapa di dunia ini perang selalu muncul. Paling parah sih jika perang batin mendera. Setan dan malaikat saling memberi pengaruh, tapi maaf malaikat, setan selalu menang. Hmm... sepertinya aku perlu banyak beristigfar. "Hadepin. Kalau cinta itu dihadepin. Kan elu gak tahu jodoh kamu nanti? Minimal elu kudu jujur." "Gue udah nyatain cinta sama beberapa orang, ya mesti ditolak sih. So whaat... Manusia berhak melakukan itu dan orang lain kudu menghargai." "Kalo elu sakit setelah menyatakan cinta, itu lebih baik. Daripada elu sakit bertaon-taon gara-gara cuma mendem rasa!" Perbincanganku bersama Rara tadi pagi masih terngiang. Lalu, apa yang harus kulakukan? Aku tahu dia tidak mencintaiku. Dia hanya sekedar.... menganggapku.... teman. Ah, aku jadi ingat. Pada suatu pagi, dia datang padaku. Bibirnya merah tersenyum.

HUJAN (part 2)

"Sebenernya yang bikin gue luluh sama Pak Rudi itu karena dia mau dengerin nasehat-nasehat gue meskipun remeh." Aku mengambil napas dalam, berharap bisa membantunya. Temanku ini terlampau serius dihajar cinta yang tidak pada posisinya. Rara, sebut saja temanku itu. Dia bukan perempuan yang suka bersolek. Meski cantik, ia tak mau memakai taburan bedak atau pewarna lain untuk bibir maupun matanya. Rara menyeruput jus tomat yang tinggal separuh gelas. Sesekali ia melihat jendel a. Di luar hujan, sementara itu orang-orang lalu-lalang di dalam restoran.  "Aku juga ngalamin yang kamu alami sebenarnya sih. Berkali-kali termasuk saat ini," kataku. Ia tiba-tiba menoleh. "Serius lo? Sama siape? Ibu tiri lo?" "Enggaklah. Gila apa? Dan kemarin tidak sengaja duduk sebelahan. Jantungku langsung deg-degan." Aku menarik napas, melirik jendela yang berembun. Hujan, hujan memang selalu menjadi momen pas untuk menggalau ria. Jika diperhatikan

HUJAN (part 1)

Tiba-tiba sebuah pesan mendarat di ponselku, "Hei, lo tahu gak rasanya cinta sama orang yang salah?" "Hahaha.. Gak ada yang salah dalam cinta," jawabku. Seperti biasa, aku hampir selalu mendapat cerita yang sama darinya. Ah, hidup, ah cinta. Aku hanya bisa memberi nasehat sesuka hati sih. Berusaha sok bijaksana dan paham bagaimana cinta itu berjalan. Awalnya sih dia tidak mengaku kalau jatuh cinta dengan atasannya. "Gue cuma kagum doang. Gak lebih." Tapi aku tahu kalau itu menghibur diri. So whattttt.... Jujur aja kalau cinta. Kini aku cuma bisa menatap pesan-pesan yang dia kirim, satu per satu. Beberapa kali aku tertawa akibat kekonyolannya. Ya, cinta memang suka membuat orang bertingkah di luar dugaan. "Gila, kalian udah seperti drama korea tauk! Kurang-kurangilah dramatisnya." Apa lagi yang mesti kukatakan saat dia bilang, "Gue suka bos gue. Sinting, kan?" Yeah, memang cukup gila, tapi apa yang salah dengan itu?