Skip to main content

Posts

Membakar Serasah Hasil Panen. Bolehkah?

     Sehektar lahan di Kecamatan Wringin Anom, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur, mendadak terbakar. Api-api melahap habis dedaunan kering yang bertumpukan. Asap-asap melambung ke udara menyisakan jelaga dan arang.      Pemilik memang sengaja membakar lahan itu, sebab tebu-tebu telah habis dipanen. Dua orang pekerja dengan lihai menumpuk serasah dan menyulut api. Beberapa saat kemudian... boom... api merambat cepat. Membakar serasah      Ternyata budaya membakar sisa hasil panen di sawah masih terjadi di kampung saya. Padahal, limbah panen merupakan bahan organik terbaik untuk pupuk. Saya mencoba menganalisa sedikit mengapa hal ini masih membudaya. Pertama, manusia ingin sesuatu yang serba cepat dan tidak merepotkan. Kedua, pengetahuan mengenai pemanfaatan serasan belum didapatkan dan gaptek. Ketiga, bisa jadi sudah mengerti tapi masa bodoh. Hehe..      Setelah mencari informasi, membakar sisa hasil panen sebaiknya dihindari. Banyak kerugian yang didapat petani. Pembakar

Gilang Masterchef 3 Kembali ke Kota Kelahiran

      "Saya rasa Jakarta bukan tempat yang cocok untuk anak manja, suka mengeluh, gampang bosan, dan tidak tangguh seperti saya," kata Gilang Masterchef 3 melalui surat elektronik. Saya mengenal Gilang cukup lama. Terhitung sejak tahun 2004, saat kami satu organisasi dalam ekstrakurikuler di salah satu sekolah terkemuka di Situbondo. Sosok bertubuh kecil, warna kulit sawo matang, dan suara cempreng membuatnya mudah dikenali. Awalnya saya tidak aware dengan keberadaannya, tapi tiba-tiba apa yang saya lihat berubah. Itu terjadi sejak dia berhasil menang juara tiga lomba puisi tingkat regional dan mewakili SMA Negeri 1 Situbondo sebagai siswa kebanggaan. Padahal waktu itu saya dan teman-teman lain juga berpartisipasi. Saya yang notabene 'suka menulis' merasa tertampar. Terlebih, puisi yang berhasil lolos dibukukan. Saya tidak termasuk dalam daftar salah satu penulis buku itu.      Gelombang iri selanjutnya datang saat mendengar kabar ia lolos dalam kontes memasak ter

Indar Atmanto, Si Lugu Yang Terjerat

Mendadak aula pertemuan Lapas Sukamiskin, Bandung, hening (11 Juni 2015). Blogger dan anggota Persatuan Wartawan Indonesia DKI Jakarta tertular haru saat Indar Darmanto terhenti menyampaikan kisahnya.  Indar Atmanto, Chief Corporate Services Officer PT Indosat Tbk, dan Komisaris Utama PT IM2, telah mendekam di balik jeruji sejak tahun 2011. Hakim memutuskan ia merugikan Negara. Keputusan itu membuat dunia terhenyak. Elisa koraag, blogger yang aktif dalam berbagai kegiatan menulis yang aktif dalam berbagai kegiatan menulis, menyatakan "kiamat internet" jika Indar tetap mendekam di lapas. Sebab, 300 perusahaan harus dicabut izin jual internet service provider nya. Jika itu terjadi, pengguna internet hanya dapat digunakan oleh perusahaan atau industri. Indar Atmanto dituntut 10 tahun penjara dan denda Rp500juta (kredit: wartabuana.com) Sebagai orang yang berjuang di bidang ICT agar internet tersebar ke pelosok-pelosok, blogger dan Persatuan Wartawan Indonesia menyamp

Sejumput Kisah Bersama Bapak

Dari balik dinding kaca ruang tamu, kuperhatikan seorang laki-laki berusia seperdua abad membongkar isi perut sepeda motor. Wajahnya penuh keringat, begitu pun tangannya yang tak berupa. Penuh tanda-tanda hitam dari darah organ-organ benda bermesin itu. Laki-laki itu mengotak-atik, membersihkan bagian kotor, menjahit yang luka, memastikan saraf-sarafnya masih berfungsi, lalu menempatkan kembali perkakas ke dalam tempatnya semula. Kemudian ia mencoba menyalakan alat transportasi itu. Begitu nyala, ia memastikan makhluk berbahan bakar itu berada dalam kondisi fit. Barulah ia akan berkata, “Sudah.” Pemilik motor kemudian akan menyerahkan beberapa lembar rupiah kepada laki-laki itu. Pria itu menghela napas dan berdiri, memperhatikan sejumlah pelanggan lain yang menunggu gerakan tangannya untuk membenarkan kerusakan pada motor-motor mereka. Masih ada tiga orang yang menunggu. Jam dinding menunjukkan pukul 11.00 WIB. Waktu sarapan telah lewat. Padahal biasanya ia bersantap bersama is

Senandung Pilu Bocah ODHA Telan TB

     Eis, perempuan berusia 55 tahun, sedang mendekap tasnya pada suatu siang, 4 Maret 201,5 di Bandung. Ia menatap ke depan dengan tegas, tetapi matanya sayu. Ia menerawang ke dalam masa-masa yang tak elok, di mana setiap hari ia harus menitikkan air mata, menahan sesak saat mengintip kehidupannya.      Eis duduk di sebuah kursi sebuah ruang pertemuan. Tak beberapa jauh darinya, seorang bocah laki-laki berusia sembilan tahun sedang bermain-main. Entah apa yang dimainkannya, Eis sesekali memperhatikan bocah itu (cucunya). Aria, nama anak itu menderita penyakit yang paling ditakuti manusia, AIDS. Mendengarnya, saya langsung terhenyak. Dalam hati saya hanya bisa bertanya, “Serius?” Kredit : www.blitarkab.go.id      Kutelisik anak itu. Warna kulitnya sawo matang, badannya ringkih, pipinya cekung, dan rambutnya cepak, tetapi dari sorot matanya terpancar harapan. Harapan yang membuat Eis tetap mendekap tubuhnya. Sang nenek kemudian terisak ketika ia mengutip perkataan Aria,

Go Jek, Layanan Ojek Terbarukan

     Menikmati malam di ibukota memang menyenangkan. Lampu-lampu yang mewarnai pinggir jalan saling memamerkan diri. Gedung-gedung tak hanya berdiri megah, tetapi juga menawarkan tingkatan sosial. Berjalan kaki di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta, membuat saya terkagum-kagum. Beragam manusia berpakaian necis dan mobil-mobil mewah membanjiri area itu.      Waktu itu, 10 Februari 2015, saya usai menghadiri Go Jek Bloggers Gathering dan masih ingin menghabiskan malam di pusat keramaian. Namun, ada hal lain yang lebih menghawatirkan. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Itu berarti saya tak punya cukup waktu untuk sendirian menikmati udara malam. Saya harus kembali ke Depok menggunakan kereta Commuter Line . Butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai di kamar terhangat di dunia dan menggelepar tak berdaya di atas kasur. Bersama teman-teman blogger (Kredit: Go Jek)       Saya membayangkan antrian busway di halte memadat. Pasti akan sanga