Pagi itu, Bandung baru saja berembun. Dari balik kaca bengkel sepatu di ujung jalan Cigadung, tercium aroma kulit yang baru dijemur. Ada suara mesin jahit tua yang sesekali berdetak pelan, ngiiit... ceklek... ngiiit... ceklek... Di antara tumpukan kulit berwarna cokelat pucat, seorang pria muda sedang menunduk serius, menyisir potongan kulit kecil seukuran telapak tangan. “Ini... bekas kaki ayam,” katanya sambil tersenyum, seolah sedang memperkenalkan permata yang lama tersembunyi. Namanya Nurman Farieka Ramdhany.
Menjawab sebuah penasaran dari cerita teman, aku pun mencari tahu bahwa ada pengrajin sepatu yang berhasil mengubah limbah menjadi sesuatu yang bernilai tinggi. Tapi aku tidak menyangka, limbah yang dimaksud... adalah kaki ayam.
Kulit Kaki Ayam Disulap Jadi Sepatu?
Nurman memulai kisahnya dengan segelas kopi hitam dan suara burung di atap seng. “Orang mengira, kulit bagus itu cuma dari sapi atau ular,” ujarnya pelan. “Padahal, ada potensi besar dari sesuatu yang sering kita buang begitu saja.”
Semuanya berawal dari tahun 2015, ketika ia bekerja bersama ayahnya, seorang peneliti kulit yang sudah dua puluh tahun berkecimpung di dunia penyamakan. Dari sanalah ide “kulit kaki ayam” muncul. Setiap hari, ton limbah dari rumah potong ayam berakhir di tempat sampah, padahal memiliki serat kuat yang bisa menyaingi reptil. Nurman melihat peluang itu, dan mulai meneliti. Dua tahun lamanya ia bereksperimen, bagaimana mengolah, mengeringkan, dan menyamak kulit yang rapuh itu agar lentur, kuat, dan aman dipakai.
“Awalnya semua menertawakan,” katanya. “Siapa yang mau pakai sepatu dari kaki ayam?”
Namun tahun 2017, merek Hirka lahir. Sebuah langkah kecil yang mengubah pandangan banyak orang tentang fashion dan limbah.
Ketika aku mengamati salah satu karyanya, sepasang sepatu kulit berwarna cokelat yang indah, aku hampir tidak percaya kalau bahan dasarnya benar-benar dari limbah ayam. Teksturnya halus, berpola sisik halus seperti buaya mini. Setiap jahitan rapi, setiap detail punya cerita. “Kami tak ingin hanya menjual sepatu,” katanya. “Kami ingin menjual cara pandang baru, bahwa yang dianggap remeh pun bisa bernilai tinggi.”
Kini, bengkel kecil itu mempekerjakan para perajin lokal, sebagian adalah warga sekitar yang sebelumnya kehilangan pekerjaan saat pandemi. Hirka tak hanya menciptakan produk, tapi juga membuka lapangan kerja. Ia membangun sistem yang berkeadilan, para pengrajin mendapat upah layak, sementara limbah dari peternak ayam diolah kembali menjadi bahan utama. Hulu dan hilir bertemu dalam satu gerak, ekonomi, sosial, dan lingkungan.
“Satukan gerak, terus berdampak"
Semboyan itu sangat sesuai dengan apa yang dilakukan Nurman. Membuat orang berpikir ia gila, tapi kini siapa yang gila? Kalimat itu juga jadi doa yang ia jalankan setiap hari.
Sepatu Kulit Kaki Ayam Tembus Pasar Internasional
Inovasi Hirka melampaui sekadar sepatu. Mereka kini menembus pasar internasional, dari Jepang, Malaysia, hingga Inggris. Tapi yang paling menarik adalah caranya menjaga prinsip, tidak satu pun bahan berasal dari satwa liar. Setiap langkah produksi dijaga agar ramah lingkungan. Setiap penjualan menyisihkan sebagian keuntungan untuk kegiatan edukasi konservasi.
Nurman tahu, tren dunia sedang bergerak ke arah keberlanjutan. Tapi baginya, ini bukan tren. Ini tanggung jawab. “Kalau kita bisa membuat industri kecil lebih sadar lingkungan, itu artinya kita ikut menjaga masa depan,” katanya.
Aku begitu kagum dengan pergerakannya. Di tengah riuh dunia mode yang mengejar kemewahan, Nurman justru mengajak kita menunduk, melihat sesuatu yang sederhana di sekitar kita. Ia menunjukkan, kemewahan sejati bukan pada harga, tapi pada kesadaran akan dampaknya bagi bumi dan manusia.
Dalam perjalanannya, Nurman sempat jatuh-bangun. Produksi macet karena kulit sulit distabilkan. Pasar sempat menolak karena “tidak percaya” pada bahan aneh ini. Tapi Nurman tidak berhenti. Ia terus belajar, mengikuti pelatihan, dan akhirnya menemukan cara terbaik untuk mengolah kulit ayam tanpa bahan kimia keras. Dari situlah Hirka mulai dikenal luas sebagai pelopor kulit kaki ayam pertama di Indonesia.
Kini, limbah yang dulu tak berharga berubah jadi sumber penghidupan. Peternak ayam pun ikut merasakan manfaatnya, kulit yang tadinya dibuang kini dibeli Hirka untuk diolah. Rantai ekonomi baru terbentuk, sirkular, dan berkelanjutan. Dari satu langkah kecil, dampak besar mengalir.
Saat sore tiba, Nurman mengantarkan kisah-kisah yang sudah ia jalankan, menjadi bagiana dari kisah banyak orang juga, menjadi inspirasi. Matahari condong ke barat, menimpa deretan sepatu di etalase kaca. Pantulan cahaya membuatnya tampak seperti barisan prajurit kecil yang siap melangkah.
“Aku selalu percaya, perubahan besar dimulai dari hal kecil,” katanya. “Kalau ayam saja bisa memberi inspirasi, kenapa manusia tidak?”
Aku tersenyum, menatap jejak langkah di trotoar. Mungkin, benar kata Nurman, langkah-langkah kecil itulah yang menuntun kita pada perubahan besar. Di tengah dunia yang sering sibuk berlari, ada baiknya kita belajar berjalan lebih pelan dan lebih sadar.
Hari itu, aku pulang bukan hanya membawa kisah tentang sepatu, tapi juga keyakinan bahwa inovasi, bila dijalankan dengan hati dan tanggung jawab, akan selalu menemukan jalannya sendiri. Karena sejatinya, keberlanjutan bukan sekadar ide; ia adalah kesetiaan untuk terus melangkah, bersama bumi, bersama manusia lain, dalam satu gerak yang memberi dampak.
#APA2025-PLM
Comments