![]() |
Produser dan sutradara film Lastarè dan Wrapped berfoto bersama |
Ada rasa yang berbeda saat aku menatap layar lebar di kota yang bukan rumahku. Bukan karena perjalanannya yang jauh dari Situbondo, bukan pula karena ini kali pertama Film Lastarè diputar di luar kota. Tapi karena aku merasa membawa “rumah” ke tempat baru. Dan malam itu, screening film di Jember bukan sekadar pemutaran, ia jadi ruang temu, ruang bicara, ruang luka yang akhirnya didengar.
Aku tak tahu pasti sejak kapan aku mulai menganggap film sebagai cara untuk menyembuhkan. Tapi malam itu, di Grand Valonia Hotel Jember, aku tahu, setiap adegan dalam Film Lastarè, setiap luka yang dipaparkan dalam Wrapped, adalah jendela untuk melihat ke dalam diri sendiri.
Ketika Komunitas Film Situbondo Membawa Luka ke Kota Sebelah
![]() |
Suasana makin hangat dengan penampilan pembacaan puisi oleh Eka Widyah dan Andhini Rahmania |
Acara “Dua Film, Satu Rasa, Satu Malam” yang digagas Pintu Project bersama Jawara Film menjadi pemutaran keempat Film Lastarè, dan kali ini terasa lebih besar. Karena untuk pertama kalinya, kami berpindah kota.
Jember jadi kota pertama yang disinggahi dan itu bukan sekadar pemindahan lokasi, tapi lompatan besar bagi komunitas film Situbondo.
Venuenya bukan ruang biasa. Kami menempati Rose Meeting Room di lantai satu Grand Valonia Hotel, hotel bintang tiga yang terkenal nyaman, lengkap dengan rooftop menarik di lantai lima untuk bersantai. Tapi malam itu, tak ada yang lebih hangat dari ruangan ber-AC itu, bukan karena suhu, tapi karena kehadiran orang-orang.
Yang datang bukan cuma mahasiswa, tapi juga dari komunitas Blogger Jember Sueger, The Jannah Institute, hingga teman-teman media dari RRI Jember. Mereka bukan sekadar penonton, tapi bagian dari diskusi, dari pertanyaan-pertanyaan kritis yang muncul setelah film selesai.
Aku masih ingat bagaimana wajah-wajah itu terdiam, mungkin ikut tenggelam dalam ingatan masing-masing, tentang trauma yang nyaris terlupakan, atau justru masih terasa nyata.
Dua Film Tentang Bullying yang Bercerita dari Luka Nyata
Dua film kami memang berbeda bentuk, tapi benang merahnya sama, perundungan. Dan lebih dari itu, kami ingin menyuarakan sesuatu yang sering dianggap sepele tapi nyatanya membekas lama, bullying bukan bercanda.
Film Lastarè yang aku produseri bersama Pintu Project lahir dari luka pribadiku. Di film ini, aku ingin bercerita lewat puisi, lewat bahasa ibu, lewat rasa yang Situbondo banget. Dinda Septi W.H. menyutradarai dengan penuh kesabaran dan dengan dedikasi yanag luar biasa, dari proses skrip, pemilihan aktor, sampai syuting di lokasi yang membawa kita langsung ke jantung budaya kami.
Film ini memang film tentang bullying, tapi bukan dalam bentuk tempelan isu. Ini film perundungan yang pelan, yang menyelusup ke dalam hubungan anak dan ayah, tanpa ibu, di ruang sekolah yang kadang terlalu bising untuk mendengar tangisan diam-diam.
Sementara itu, Film Wrapped karya Royhan Hariri dari Jawara Film menyuguhkan sisi lain dari trauma, suara batin ODGJ yang pernah jadi korban perundungan sekolah. Ceritanya sederhana, tapi tiap adegannya menggedor. Ada pasar, ada sekolah, ada masa lalu yang tak pernah selesai. Royhan sendiri pernah mengalami bullying, dan film ini seperti bentuk pertanggungjawaban emosional bahwa ia telah berhasil berdamai, tapi tak melupakan.
Malam itu, keduanya diputar dengan sederhana. Mungkin sistem tata suara sempat bermasalah, tapi hati kami tidak. Mahasiswa Jember bertanya. Komunitas menanggapi. Dan aku, hanya bisa duduk, merasa cukup—karena film-film ini akhirnya berbicara, tanpa perlu teriak.
Dari Situbondo ke Mana Saja, Cerita Harus Terus Hidup
![]() |
Uwan Urwan (aku), Dinda Septi W. H., Royhan Hariri, dan Nadine Meida Saniyah dalam sesi diskusi |
Buatku, film lokal itu seperti suara yang pelan, tapi kalau konsisten, lama-lama akan menggaung. Dan roadshow ini bukan cuma soal pemutaran. Ini tentang keberanian membuka luka di hadapan orang asing, dan berharap ada yang mendengarkan.
Aku senang karena malam itu, banyak yang benar-benar mendengarkan. Dari pertanyaan soal judul, proses produksi, sampai tentang kenapa isu perundungan penting banget dibicarakan. Komunitas film Situbondo mungkin kecil, tapi niat kami besar. Dan lewat Pintu Project, kami ingin memperluas ruang. Kami ingin membuat sineas muda Situbondo percaya bahwa film mereka layak diputar di mana pun, bahkan di kota yang belum pernah mereka injak.
Kapan terakhir kali kamu menyaksikan film dan merasa seperti sedang melihat bagian dari hidupmu sendiri? Kalau kamu belum pernah, mungkin kamu belum nonton Lastarè atau Wrapped. Dan kalau kamu sudah pernah, kamu tahu, bahwa ini bukan sekadar tontonan. Ini ruang bertumbuh.
Film Itu Tak Hanya Tentang Cerita, Tapi Tentang Siapa yang Mau Mendengar
![]() |
Acara disambut hangat oleh General Manager Grand Valonia Hotel, Muhammad Noval Muqorrobin, S.E. dan dipandu oleh Naufal Falih Rabbani |
Malam itu aku pulang ke Situbondo dengan hati yang agak sesak, tapi hangat. Karena aku tahu, perjalanan film-film ini masih panjang. Tapi langkah pertama menuju luar kota sudah dimulai.
Semoga suatu hari nanti, kita tak perlu lagi menjelaskan bahwa film perundungan penting. Bahwa film lokal bisa menggugah. Bahwa komunitas film Situbondo bukan cuma kumpulan anak muda dengan kamera seadanya, tapi penggerak narasi, penulis ulang sejarah kecil dari kota yang sederhana tapi penuh makna.
![]() |
Sesi diskusi berlangsung hangat karena kedatangan teman-teman Blogger Jember Sueger dan Kak Gea Debora dari RRI Jember |
Dan aku harap, cerita yang dimulai dari Situbondo ini, bisa menembus banyak pintu. Karena Pintu Project memang kami namai begitu, supaya selalu jadi pembuka. Bukan penutup. (Semua foto diambil oleh Rakha Maulana Ikbar)
Comments