“Menang duta wisata? Buat apa? Lagian impact-nya juga nggak keliatan.”
Pernah mendengar omongan seperti itu? Mungkin bukan kamu, tapi Gustaf Nafi Isbat yang mendengarnya. Bagaimana rasanya jika kamu yang mendengar celetukan seperti itu di saat kamu memenangkan sebuah kompetisi? Ya bisa kompetisi apa saja. Akankah kamu menghajar orang itu atau malah menangis?
Bukti Kalau Selempang Bukan Pajangan
![]() |
Gustaf Nafi Isbat dan Annisa Putri Chesillia Haq, pasangan Kakang Embug Situbondo |
“Waktu aku terpilih sebagai Kakang Embhug Situbondo, banyak yang bangga, tapi nggak sedikit juga yang sinis,” ungkap Gustaf pasca kemenangannya di beberapa duta wisata baik lokal atau pun tingkat Jawa Timur. Banyak yang menganggap selempang hanya simbol dan foto kemenangan hanya untuk pamer di Instagram. Padahal, kerja keras dimulai justru setelah panggung selesai.
Gustaf dan para duta wisata lainnya turun langsung ke lapangan: promosi pariwisata, bantu dinas-dinas di daerah, jadi MC warga, sampai ikut pelatihan. Semua itu jarang terlihat. Tapi justru karena itulah Gustaf sadar, kerja nyata memang sering tidak disorot. Ia tidak menyerah, karena kalau bukan mereka, siapa lagi yang akan peduli dengan Situbondo?
Perjalanannya ternyata dimulai dari kebiasaan kecil Gustaf waktu SMP: nongkrong di perpustakaan dan baca sejarah kota. Dari sanalah rasa cinta pada Situbondo tumbuh. Titik baliknya datang saat melihat duta-duta wisata tampil di Jatim Specta Night Carnival 2019. Ia terpesona dan menanam mimpi: suatu hari, ia juga akan berdiri di sana.
Tentu jalannya tidak mulus. Ia harus menjalani pelatihan attitude, belajar digitalisasi pariwisata, dan mempersiapkan diri setahun penuh untuk Raka Raki Jatim. Tapi perjuangan itu terbayar ketika akhirnya ia meraih gelar Raka Raki Intelegensia Jawa Timur 2024. Bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk kota kecilnya yang mulai unjuk suara ke dunia.
Selempang Duta Wisata Situbondo Bukan Tujuan, Tapi Tanggung Jawab
Selempang Kakang Embhug Situbondo atau Raka Raki Jawa Timur itu bukan sekadar kain. Di baliknya ada janji, ada tanggung jawab, ada ekspektasi yang kadang lebih berat dari latihan fisik apa pun. Begitu dinobatkan sebagai Kakang Embhug dan masuk ke lingkaran Raka Raki, Gustaf Nafi Isbat, pemuda Situbondo, buktikan selempang bukan pajangan. Dari duta wisata ke MC ludruk, semua demi cinta pada kota kecilnya. sadar... gelar itu bukan trofi pamer-pameran. Tugas utamanya adalah mempromosikan potensi Situbondo. Bukan cuma objek wisatanya, tapi juga budayanya, komunitasnya, bahkan orang-orangnya yang punya semangat luar biasa tapi belum punya panggung.
Tapi tantangan terbesarnya bukan itu. Tantangan terberat Gustaf justru datang dari diri sendiri. Usia 16 tahun, jadi finalis termuda, mental belum stabil. Waktu itu, semua terasa besar. "Lawan-lawanku udah punya banyak pengalaman, sementara ia masih belajar nahan deg-degan tiap naik panggung," ungkapnya.
Namun, pemuda Situbondo berprestasi ini belajar satu hal penting, tidak semua bisa dimenangkan dengan cepat, tapi dengan konsisten. Ia belajar kontrol diri, bangun public speaking dari nol, upgrade grooming dan penampilan, bahkan belajar menyelaraskan gesture dengan intonasi saat berbicara dengan orang lain atau di dalam sebuah forum.
Jatuh, Bangkit, dan Nge-MC di Tengah Ludruk
Kadang, hidup mengajarkan kita untuk tidak terlalu serius. Karena bila semua dijalani dengan kaku, momen-momen paling lucu dan berkesan bisa terlewat begitu saja.
Anak muda Situbondo ini ingat pertama kali nge-MC, bukan di event megah. Bukan juga karena ia daftar. Tapi karena… ditunjuk OSIS pas perpisahan kelas 12. "Gak ada angin gak ada hujan, tau-tau dikasih mic dan disuruh tampil", ujarnya. Dari situ, jalannya makin terbuka. Dari acara sekolah, terus diajak menjadi MC oleh dinas, terus menjadi MC di seminar, sarasehan, sampai ke acara pemerintahan.
Namun ia mengalami momen paling absurd. Itu terjadi saat ia disuruh menjadi MC acara 17-an… yang puncaknya ada "can-macanan" dan pagelaran topeng ludruk. Bayangkan, satu sisi Gustaf harus jaga wibawa, sisi lain penonton ketawa terbahak-bahak karena akting kocak pemain ludruk. Tapi dari situlah ia sadar, jadi MC itu tidak melulu soal suara lantang atau penampilan keren. Tapi bagaimana caranya jadi jembatan yang membuat semua orang nyaman.
Dan ternyata, MC jadi salah satu cara paling efektif buat mengasah kontrol diri dan improvisasi. Di satu sisi bisa jadi pelengkap kegiatan duta wisata, di sisi lain jadi ruang ekspresi baru buatnya.
Kadang di titik lelah, di antara kesibukan kampus, acara, dan kegiatan duta, muncul pertanyaan, “Sampai kapan?” “Worth it nggak sih semua ini?”Tapi pas flashback ke perjalanan panjang ini — dari anak SMA yang cuma suka nongkrong di perpus daerah, sampai bisa wakilin Situbondo ke Jawa Timur — ia tahu, ini semua bukan kebetulan. Ini adalah proses.
Yang Dilihat Selempangnya, Tapi Orang Lain Tidak Tahu Rasanya
Dari luar, orang cuma lihat selempang. Lihat postingan Instagram, panggung mewah, prestasi di ajang provinsi. Tapi yang orang lain tidak tahu… adalah pagi-pagi yang dihabiskan untuk memindahkan tabung gas 3 kg.
Ya, di sela jadi mahasiswa Sastra Inggris dan duta wisata, Gustaf tetap membantu usaha bapaknya sebagai pengecer LPG. "Masuk-masukin ratusan tabung ke warung-warung, keluar masuk gang sempit. Capek? Iya. Tapi juga grounding banget," ungkapnya. Bikin ia sadar: secantik dan setampan apapun di panggung, fondasi kehidupan tuh ya kerja keras dan pengabdian.
Dan di tengah semua kesibukan itu, Gustaf masih sempat mengerjakan tugas kuliah, milih mata kuliah favorit, seperti phonetics & phonemics, bahkan nunggu-nunggu kelas performing arts MC semester depan.
Waktu buat paguyuban? Anak muda Situbondo ini sempatkan saat libur semester. Kegiatan kampus yang bentrok? Kadang harus di-skip. Karena di hidup ini, tidak semua bisa dipilih bersamaan. Tapi kita bisa milih prioritas yang bikin kita berkembang.
Mimpi yang Dipegang, Bukan Dibayangin
Gustaf bukan tipe yang cuma pandai ngomong di atas panggung. Di balik pembawaannya yang kalem dan tutur katanya yang tertata, ada segudang mimpi yang dia pegang erat-erat. Mimpi yang tidak cuma buat dirinya, tapi juga buat daerah yang dia cintai, Situbondo.
Salah satu pencapaiannya yang paling membanggakan, selain menang Raka Raki Intelegensia Jawa Timur adalah saat namanya disebut sebagai 3rd Runner Up Duta Lalu Lintas Polda Jatim 2022. Waktu itu dia mewakili Polres Situbondo, dan itu bener-bener di luar ekspektasinya. Tapi begitulah Gustaf, makin banyak diberi amanah, makin besar pula tanggung jawab yang dia sandang.
Kalau ada satu momen yang paling tidak bisa dia lupain, itu adalah ketika dia dan teman-teman bermalam di Desa Alas Tengah, Sumbermalang. Di desa tertinggi Situbondo, mereka harus lewat jalan dengan tebing curam, tanah ambles, dan jurang terbuka demi konten satu air terjun. Tapi di situlah justru dia merasa paling hidup.
Dari pengalaman-pengalaman ini, Gustaf belajar satu hal penting, mimpi itu bukan hanya soal kemewahan, tapi soal keberanian untuk tetap jalan meski jalannya susah. (Foto-foto diambil dari Instagram @gustafnafii)
Comments