Mengapa Penting Memahami Isu Gender?


Kasus pelecehan seksual baik melalui teks, verbal, atau fisik masih kerap terjadi. Biasanya yang menjadi objek pelecehan adalah perempuan. Media pun lebih suka viralkan pelecehan seksual seputar perempuan, meski sebenarnya kasus pelecehan juga terjadi pada laki-laki. Berita tentang perempuan dianggap menjadi makanan sedap bagi pembaca yang haus akan info terbaru.

Perempuan selalu menjadi objek perbincangan masyarakat umum. Dianggap wajar jika membicarakan hal-hal sensitif tentang perempuan. Media pun punya peran khusus membentuk opini tersebut. sadar atau tidak, perempuan dianggap layak dilecehkan, sehingga kasus-kasus tersebut masih akan terus berlangsung. Entah yang akan diberitakan di media atau pun tidak.

Apabila terjadi kasus pemerkosaan, masyarakat secara tidak langsung akan berpikir bahwa si perempuanlah yang salah. Kenapa? Karena menggunakan pakaian minimlah, pulang larut malamlah, terlalu menggodalah, dan lain-lain. Selalu perempuan yang menjadi objek untuk disalahkan. Sementara pelaku (yang tentu saja pria) dianggap wajar jika melakukan hal tersebut. Beberapa dari pelaku memang mendapat hukuman, tapi tidak sedikit juga yang bebas. Usut punya usut, ternyata ada peran gender di sana.

Seks dan gender

Sebenarnya apa sih bedanya seks dan gender? Seks adalah sesuatu yang berhubungan dengan alat reproduksi. Secara alami manusia dilengkapi organ-organ reproduksi untuk keberlangsungan hidup. Beberapa hal yang menyangkut seks, yaitu penis, jakun, sperma, membuahi, vagina, sel telur, menyusui, melahirkan, dan lain-lain.

Sementara itu, gender adalah seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang diangggap layak bagi perempuan dan laki-laki yang dikontruksi secara sosial dalam masyarakat.  Beberapa hal yang berkaitan dengan gender, misalnya laki-laki kuat sedangkan perempuan lemah, pria cenderung rasional sementara perempuan emosional, laki-laki tampan sementara perempuan cantik, pria maskulin dan perempuan feminin, pria lebih cocok menjadi pemimpin ketimbang perempuan, serta banyak sekali contoh lainnya.


Gender itu dibentuk oleh manusia yang tidak bersifat kodrat, dapat dipertukarkan, dapat diubah, serta bisa berbeda-beda tergantung adat, budaya, dan cara pandang. Isu-isu tentang gender seringkali melahirkan ketidakadilan, perempuan harus pakai rok, pria yang tidak merokok tidak jantan, perempuan yang sering pulang malam adalah perempuan tidak benar, dan lain-lain. Stereotip-stereotip itu melahirkan ketidakadilan sehingga yang tidak sesuai dengan kesepakatan bersama (tentang gender) layak dihakimi dan dirisak.

Penyebab Terjadinya Kesenjangan Gender
ü  Nilai sosial dan budaya patriarki
ü  Produk dan peraturan perundang-undangan yang masih bias gender;
ü  Pemahaman ajaran agama yang tidak komprehensif dan cenderung parsial;
ü  Kelemahan, kurang percaya diri, tekad, dan inkonsistensi kaum perempuan dalam memperjuangkan nasibnya
ü  Kekeliruan persepsi dan pemahaman para pengambil keputusan, Tokoh Masyarakat (TOMA) -  Tokoh Agama (TOGA) terhadap arti dan makna Kesetaraan dan keadilan Gender (KKG).

Media masih bias gender

Sebagian media di Indonesia masih tidak sensitif terhadap gender. Banyak hal yang diberitakan, masih bias gender, secara tidak langsung menggiring masyarakat untuk menjadi hakim yang membenarkan pelaku pemerkosaan, misalnya. Apalagi jika menyangkut tentang perempuan. Beberapa media tersebut mengabaikan kode etik dalam pemberitaan tentang kekerasan seksual terutama pada perempuan. Tak hanya itu, judul dibuat klik umpan agar semakin banyak orang yang penasaran dengan isi artikel.

Pelanggaran kode etik tersebut meliputi pengungkapan identitas korban, mencampuradukkan fakta dan opini, mengungkap identitas pelaku anak, serta penyajian berita cabul dan sadis. Sudah banyak artikel yang bisa kita temukan dengan judul-judul, seperti dipaksa melayani nafsu, bertubuh molek, menggagahi, dan lain-lain. Kasus sensitif seperti ini ditulis dengan vulgar, seolah itu hiburan. Seringkali juga perempuan diibaratkan sebagai pemicu terjadinya pelecehan seksual.

Sayangnya, media-media yang melakukan pemberitaan bias gender itu tidak hanya media lokal, tapi juga media yang sudah punya nama besar. Memang ada perbedaan mencolok antara pemberitaan di media lokal dan media ternama. Media besar tidak sevulgar media lokal, tetapi ada beberapa bahasan yang secara tidak langsung menjadikan korban pelecehan sebagai komoditas untuk menarik pembaca, melalui kata-kata, seronok, molek, seksi, dan lain-lain.


Saya melihat, tren ini disebabkan karena orang-orang yang berkecimpung dengan media masih mengikuti selera pasar. Padahal sebenarnya yang membentuk pola pikir masyarakat juga media. Kalau media massa mulai mengubah pola pikir masyarakat dengan memberitakan hal-hal sesuai kapasitasnya, tanpa menggiring opini, tentu kesadaran tentang gender akan meningkat.

Yang bisa kita lakukan sekarang adalah mulai mengubah kebiasaan untuk tidak membaca berita yang berhubungan dengan bias gender, tidak perlu dibagikan, dan mulai memberikan opini positif yang berhubungan dengan itu. Intinya sih, lebih banyak melakukan hal-hal positif dan berkarya, tetap toleransi terhadap keberagaman, serta saling mendukung untuk kemajuan bersama. Saya rasa sih begitu saja sudah cukup. (Uwan Urwan)



Materi didapat dari pemateri Pelatihan SDM Media Elektronik & Sosial tentang Jurnalisme Sensitif Gender, Budhi Hermanto dan Sri Wahyuni.



No comments: