Skip to main content

Posts

Membangun Rasa Dalam Puisi

     Beberapa tahun silam saat berdiskusi dengan senior tentang puisi saya seperti bocah yang tak bisa berhenti bertanya. Saya memang sudah menggeluti dunia tulis-menulis puisi sejak usia 14 tahun. Itu pun disebabkan rekan yang rajin ke perpustakaan sedang berdiskusi tentang sastra. Tergelitiklah saya. Diam-diam menculik ilmu dari buku-buku kumpulan puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan penyair lain. Saya ingat betul jika tulisan saya waktu itu masih seputar daya khayal ‘ingin seperti penyair-penyair besar’. Sayangnya saya tidak memiliki dokumennya. Semua puisi sudah saya ubah berulang kali dan pada akhirnya raib tanpa jejak.      Dengan banyak berdiskusi dengan senior saat kuliah, saya pun menjadi paham. “Puisi itu yang terpenting rasa. Percuma bahasa bagus dan sistematika top, tetapi tidak ada rasa,” katanya waktu itu. Dari situ saya belajar kembali. Membaca dan memperhatikan penyair-penyair dalam karyanya. Bahkan saya sempat meng-add orang yang saya tahu dia sering memenan

Prosa tanpa Judul

       kali hanya tubuh yang dipermainkan. Disilet, dicacah, dijahit berulang, atau mungkin direbus dalam kuali besar. Ah, nikmat tubuh saat dikecami garam buta, bisu tuli telinga yang menderu-debu tak dapat lagi berwujud kalimat.       Kepalaku pusing meminta nyawa untuk tunduk padanya. Ia berkata, "kenikmatan dunia kenikmatan akhirat. Pilih yang mana dan kau akan menjadi salah satu penguasanya!"       Ah, itu hanya kata. Bayangkan aku tak dapat berbicara lantang. Aku hanya maya dan berdiri di depan kardus kosong. Ah, aku rindu sebenarnya, bukan kata.      Kata seringkali tak dapat bersedih. Ratapan menjadi iba dan tiupan aroma amis merajalela. Aku sering berontak pada maya yang menggelinding di bawah kakiku. Ia menyelinap dan masuk ke dalam pori-pori layaknya cacing yang menggorok tanah. ( Uwan Urwan )

Racauan Tentang... (Ah!)

     Sungguh berat perjalanan cinta. Bagaikan air, anggap saja ia mengalir dari puncak pegunungan berisi dua molekul hidrogen dan satu molekul oksigen sejuk. Mulanya ia merembes dari badan-badan tanah yang dipijak beragam flora. Ia mencari celah terlebar untuk dilalui dan sampailah ke ke titik bertemunya dengan teman-teman baru. Ia berkoloni bagai burung pipit dalam kawanannya di tepian sawah matang.      Gravitasi membawanya makin turun letaknya. Ia dan koloninya saling berlomba menda patka tempat terdepan. Ia tak hanya.membawa tubuh, beragam serpihan yang tak dikenali menempel pada badannya, seperti serpihan klorofil, unsur-unsur logam, dan puing-puing bernyawa lain. Tahu tidak, ia masih terbenam jauh dalam perut gunung-gunung menjulanv. Entah bagaimana ceritanya tanah meninggi bak tebing, aku tak tahu. Pada suatu wilayah yang teramat jauh, tersibaklah matahari. Keluarlah molekul-molekul kaya mineral itu ke atas permukaan tanah. Jalanan makin rendah dan ia selalu ta

Monas, Saksi Bisu Parade Mini

     Waktu menunjukkan pukul 11.00 WIB. Langit tanggal 10 Januari 2015 biru cerah, debur awan bertabur dalam ronanya, udara mengalir deras, kanopi Samanea saman dan beberapa spesies lain menabur oksigen, sumber kesejukan. Aku baru tiba di pintu Monas, entah pintu yang keberapa. Hiruk-pikuk beragam jenis manusia lalu-lalang meramaikan ikon ibukota. Birunya langit Monas      Rusa-rusa di kandangnya sedang menikmati pemandangan manusia dengan beragam warna pakaian. Mereka berteduh, menyesap kesejukan yang tersiram nikmat untuk paru-paru mereka. Aku pun merasakan hal yang sama. Kulihat beberapa orang sedang berlomba menuju titik tengah monumen bersejarah itu. Beberapa juga menggelar alas untuk bertamasya bersama kerabat. Meski tampak riuh, keringat menelusup melalui pori-pori kain merah yang saya sematkan di badan. Air saya teguk untuk mengendalikan dahaga sehabis berjalan cukup jauh karena memberhentikan kopaja tidak pada titik semestinya. Roti pun lahap dilumat lidah.   

Ini Tentang… Ini Persembahan Saya

Ini Tentang… Ini Persembahan Saya      Malam selalu gelap. Saya menyelaminya setiap kali menyentuh usia yang terus bertambah. Angka-angka yang akan terus bertambah dalam hidup saya sementara belum ada satu pun hal baik yang saya lakukan untuk orang lain. Saya minim pahala, saya miskin faedah, malah saban hari melakukan hal-hal tak penting. Memosting racauan kepala di media sosial dan berperilaku fakir kebergunaan. Saya harus melakukan sesuatu meski itu kecil.      Tampaknya jalan cerah itu selalu ada. Pada penghujung tahun (13/12/14), buku kumpulan puisi pertama saya launching terbitan PEDAS Publishing di Perpustakaan dan Kearsipan, Jl. Tanah Abang I, Jakarta Pusat. “Ini Tentang… Serumpun Tak Berima” label kofernya. Warnanya hitam mengilat dengan seorang perempuan bergincu dan lelaki berhidung mancung menerawang di sampul depan. Buku itu berisi kegalauan, kegilaan pikiran, dan buah sensasi hidup saya. Beragam tema saya tuangkan di sana, tanpa auran, tanpa rima, dan tanpa ber

Stasiun Bandara Kualanamu, Pembuka Jalur Wisata

     Mencoba hal-hal baru adalah hobi saya. Banyak hal yang belum saya lakukan dan beragam lokasi unik juga belum saya jamah. Kaki saya masih berkutat di Pulau Jawa. Ingin rasanya sekali-kali melancong ke ujung barat menuju ujung timur wilayah Indonesia. Itu masih menjadi keinginan-keinginan terpendam. Saya harus mewujudkannya suatu saat.      Untuk perjalanan jauh agar singkat biasanya harus ditempuh dengan pesawat terbang. Kemudahan itu menjadi sulit dilakukan jika untuk menuju bandara, saya harus melewati berbagai titik terlebih dahulu. Jika di Surabaya dan di Jakarta saya mesti ke terminal pemberhentian bus untuk memakai jasa Damri menuju pusat berlabuhnya capung raksasa, tampaknya menjadi perjalanan yang melelahkan. Lalu lintas yang tidak lancarlah penyebabnya.      Untuk itu, saya lebih senang naik kereta api. Karena tanpa macet dan pemberangkatannya terjadwal, saya selalu dapat memerkirakan waktu tempuh untuk sampai ke tujuan. Saya tidak perlu berangkat beberapa jam

Menuju Galeri Kecil

Hukum Alam, Lukisan Cat Air A4 Begitulah Tuhan menciptakan alam. Beragam bentuk pertahanan diri demi kelangsungan hidup diciptakan. Di alam bebas, setiap makhluk hidup punya kemampuan melakukan kamuflase atau mimikri. Segala hal tercipta punya hukum, itulah hukum alam. Ada hubungan timbal.balik, piramida kehidupan, dan evolusi. Dalam lukisan ini saya menggambarkan seekor buaya sedang memangsa unggas berkaki tiga (ini makhluk khayalan). Itu alami dan lingkungan memberi respon berbagai rupa. Saya mencoba menggambarkan sesuatu yang indah dan menentramkan justru kematian bagi kebahagiaan itu sendiri, unggas itu contohnya. Senada dengan peribahasa air tenang menghanyutkan. Jadi, tetap berhati-hatilah. ******      Melukis dan membaitkannya dalam sebuah pemaparan membuat saya ingat sosok I Made Wianta, perupa dan penyair asal Denpasar, Bali. Wianta bebas menuliskan kata per kata di atas media yang dia inginkan tanpa memikirkan apakah yang ia tulis penting atau tidak, bermak