Skip to main content

Posts

Palang Merah Indonesia, Pelabuhan Perjuangan

Saat darah tumpah, ada perjuangan yang dinobatkan. Saat memasuki jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama, saya sangat tertarik pada ekstrakurikuler Palang Merah Remaja (PMR). Ketertarikan itu tanpa sebab, seolah saya harus berjalan ke arah itu. Meski keanggotaan saya dalam organisasi tersebut hanya seumur Amaranthus sp., rasanya ada kesenangan tersendiri saat itu. Palang Merah Remaja sebagai bagian dari Palang Merah Indonesia tergolong wadah yang menjunjung kemanusiaan. Tanpa terencana,  saya diundang dalam pelatihan "Manajemen Stres" bagi corporate volunteer (Selasa, 290316) di kantor PMI Jakarta barat. Ternyata pemaparan narasumber membangkitkan kembali jiwa sosial saya. Saya bertemu beberapa volunteer yang sudah pernah ikut mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya untuk membantu orang banyak, seperti saat bencana gunung meletus di Yogyakarta, tsunami di Aceh, banjir di Jakarta, dan lain-lain. Kemudian saya sadar betapa terkurungnya hidup saya, tanpa melihat dunia

Dedikasi dan Cinta Nusantara Sehat

Bahkan yang mati pun berawal dari hidup. Manusia tidak akan pernah tahu bagaimana sakit membawa kita pada yang bernyawa atau tiada. Dedikasi dan cinta bagi saya adalah dua hal yang saling bercumbuan. Dedikasi berarti pengorbanan haiknpikiran, tenaga, dan waktu untuk mencapai titik akhir dari tujuan mulia. Sementara itu cinta adalah rasanya. Beberapa kali saya melihat orang-orang tekun dengan pekerjaannya. Mereka berangkat pagi pulang malam, mengabaikan lapar dan anggota keluarga. Sedikit waktu yang biasa mereka habiskan untuk anak dan istri mereka, tanpa mengeluhkan betapa sesaknya jadwal-jadwal kegiatan per jamnya. Itu dedikasi yang didasarkan atas cinta terhadap apa yang mereka kerjakan. Sama seperti program yang sedang digalakkan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengenai "Nusantara Sehat", saya rasa itu dapat menjadi jalan bagi orang-orang yang dapat bekerja dengan cinta tanpa menutup mata. Uang memang segala-galanya untuk memenuhi hidup, tapi kebahagiaan h

HUJAN (hidden part)

Aku masih belum percaya. Beberapa menit yang lalu Rara masih berjarak semeter dari tempatku berdiri. Kini ia tak berjarak. Tubuhnya menyatu dengan tubuhku. Sepertinya dia sedang terisak-isak. Semenit.... dua menit... tiga menit.... aku masih tertegun, tak bergerak. Sementara itu kelebat orang-orang sekitar kian buram. "Jangan pergi..." bisiknya.

HUJAN ....hmm (missing part)

Sudah pukul tiga dini hari. Mataku enggan mengatup. Pikiran-pikiranku masih terbuai kenangan beberapa hari lalu. Aku meraih sesuatu dalam laci. Gelang karet pemberiannya. Gelang karet berwarna hijau, warna kesukaanku dan benda itu jadi sangat spesial. Apakah aku sudah gila? "Sebenernya elu takut kan? Elu selalu merasa cinta itu salah?" pertanyaan Rara terngiang-ngiang. Lalu pikiranku kembali padanya. Iya, dia, dia yang entahlah, aku tak ingin menyebut namanya. Iya kamu benar, Ra. Aku takut terjebak kembali dalam cinta itu. Aku sudah lama ingin berhenti, menikmati duniaku yang lain, yang lebih nyata. Kamu tahu kan seberapa parahnya aku terluka, saat aku terkubur bersama malam-malam dan siang-siang kelabu. Butuh bertahun-tahun, Ra. Dan ini tidak semudah yang kamu bicarakan. Hah, iya. Kamu tidak tahu, sebab aku tak memberitahu. Hmmm... Gelang itu kini melekat di pergelangan tanganku. Sembari membuka galeri foto di ponsel. Hmm... Ada wajahnya. Ia tersenyu

HUJAN (part 4)

Aku meninggalkan ibukota kemarin. Sisa-sisa gemuruh masih lekat di dada. Segenap hidupku lantas terasa perih. Tahu kan bagaimana perihnya luka yang ditetesi perasan air jeruk nipis. Dia—yang tak pernah mungkin kusebut namanya—pun seolah melupakan malam-malam terkasih, bulan membelai, dan jantung berdegub. "Jangan pergi," kata Rara saat mengantarkan kepergianku di Bandara Soekarno Hatta kemarin. "Tidak ada alasan untuk tinggal. Semua dunia sudah kutinggalkan, Ra." "Bagaimana dengan dia? Elu sudah nembak dia? Atau elu ditolak?" Rara terisak. Ada sedikit keriput di wajahnya yang tak bisa ditutupi sekalipun oleh bedak. "Dia itu sebenarnya tidak ada. Dia itu tokoh fiktif yang aku ciptakan sendiri." Sesederhana itu aku berkata, seperti saat kukatakan pada temanku menjelang operasi pengangkatan tumor beberapa tahun silam, "Besok aku operasi." Tapi kumohon, jangan menerka apa yang ada di dalam sana. Aku tak ingin mengenang

HUJAN (part 3)

Hujan lagi. Aku baru saja menyelamatkan cucianku yang nyaris kering dari terpaan hujan. Petir dan guntur ikut berperang. Haah, kenapa di dunia ini perang selalu muncul. Paling parah sih jika perang batin mendera. Setan dan malaikat saling memberi pengaruh, tapi maaf malaikat, setan selalu menang. Hmm... sepertinya aku perlu banyak beristigfar. "Hadepin. Kalau cinta itu dihadepin. Kan elu gak tahu jodoh kamu nanti? Minimal elu kudu jujur." "Gue udah nyatain cinta sama beberapa orang, ya mesti ditolak sih. So whaat... Manusia berhak melakukan itu dan orang lain kudu menghargai." "Kalo elu sakit setelah menyatakan cinta, itu lebih baik. Daripada elu sakit bertaon-taon gara-gara cuma mendem rasa!" Perbincanganku bersama Rara tadi pagi masih terngiang. Lalu, apa yang harus kulakukan? Aku tahu dia tidak mencintaiku. Dia hanya sekedar.... menganggapku.... teman. Ah, aku jadi ingat. Pada suatu pagi, dia datang padaku. Bibirnya merah tersenyum.

HUJAN (part 2)

"Sebenernya yang bikin gue luluh sama Pak Rudi itu karena dia mau dengerin nasehat-nasehat gue meskipun remeh." Aku mengambil napas dalam, berharap bisa membantunya. Temanku ini terlampau serius dihajar cinta yang tidak pada posisinya. Rara, sebut saja temanku itu. Dia bukan perempuan yang suka bersolek. Meski cantik, ia tak mau memakai taburan bedak atau pewarna lain untuk bibir maupun matanya. Rara menyeruput jus tomat yang tinggal separuh gelas. Sesekali ia melihat jendel a. Di luar hujan, sementara itu orang-orang lalu-lalang di dalam restoran.  "Aku juga ngalamin yang kamu alami sebenarnya sih. Berkali-kali termasuk saat ini," kataku. Ia tiba-tiba menoleh. "Serius lo? Sama siape? Ibu tiri lo?" "Enggaklah. Gila apa? Dan kemarin tidak sengaja duduk sebelahan. Jantungku langsung deg-degan." Aku menarik napas, melirik jendela yang berembun. Hujan, hujan memang selalu menjadi momen pas untuk menggalau ria. Jika diperhatikan

HUJAN (part 1)

Tiba-tiba sebuah pesan mendarat di ponselku, "Hei, lo tahu gak rasanya cinta sama orang yang salah?" "Hahaha.. Gak ada yang salah dalam cinta," jawabku. Seperti biasa, aku hampir selalu mendapat cerita yang sama darinya. Ah, hidup, ah cinta. Aku hanya bisa memberi nasehat sesuka hati sih. Berusaha sok bijaksana dan paham bagaimana cinta itu berjalan. Awalnya sih dia tidak mengaku kalau jatuh cinta dengan atasannya. "Gue cuma kagum doang. Gak lebih." Tapi aku tahu kalau itu menghibur diri. So whattttt.... Jujur aja kalau cinta. Kini aku cuma bisa menatap pesan-pesan yang dia kirim, satu per satu. Beberapa kali aku tertawa akibat kekonyolannya. Ya, cinta memang suka membuat orang bertingkah di luar dugaan. "Gila, kalian udah seperti drama korea tauk! Kurang-kurangilah dramatisnya." Apa lagi yang mesti kukatakan saat dia bilang, "Gue suka bos gue. Sinting, kan?" Yeah, memang cukup gila, tapi apa yang salah dengan itu?

Ajari Aku, Bu (Sebuah Kumpulan Puisi)

Bila pagi tiba langkah kaki terasa hampa menatap lorong waktu yang selalu salah Bila pagi tiba semua aktivitas menyambut dengan indah berharap bisa jadi penenang sebelum malam tiba      Cuplikan penggalan puisi 'Bila' karya Gusti Trisno dalam bukunya terasa mengalun. Apalagi jika ditemani secangkir teh kayu manis hangat. Coba bayangkan aromanya, manis dan hangat di tenggorokan. Bila sudah dicerna, kandungan aktifnya akan mendamaikan kerja otak.      Puisi itu tersemat dalam buku tunggalnya 'Ajari Aku, Bu'. Lahir bulan Agustus 2015. Sebagai orang yang sehobi dengan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Jember itu, saya mengapresiasi kelahiran karyanya. Terlebih Gusti terlahir di kabupaten yang sama, Situbondo.      Puisi Gusti cukup renyah dan sederhana. Tidak butuh mengernyitkan dahi untuk memahami isi lantunan goresan tangannya. Saya hanya perlu sejam untuk melahap habis seluruh muatan kumpulan puisinya. Dibalut dengan sampul ibu bertu

Suara Sajak Sajak (Sebuah Kumpulan Puisi)

Cangkir menjadi lebih cepat kosong Kurasa kau tak suka pahit Mungkinkah karena manis yang kita bubuhkan? Ah, sudahlah! Malu, bintang mengerling genit pada ki ta      Penggalan untaian pikiran Widya Dewi di atas berjudul 'Teh Cinta'. Puisi itu membius saya dengan sederhana, lugas, dan romantis. Bagi saya Widya menyampaikan pesan cinta secara elegan. Dari situ saya ingat tulisan-tulisan Dee yang bagi saya sama sederhana cara penyampaiannya. Puisi ini menjadi pembuka yang mantap dalam buku kumpulan puisi  "Suara Sajak Sajak", meski tidak benar-benar membuka.       Antalogi yang lahir bulan Juni 2015 ini menambah hiasan dunia kesusastraan Indonesia. Terbit secara independen sih, tapi tidak melupakan kodratnya sebagai bayi-bayi yang perlu melahirkan generasi baru. Sempurna memang, sebab 21 penulis yang tergabung dalam komunitas menulis PEDAS—Penulis dan Sastra dengan sigap menggarap kata demi kata hingga utuh menjadi satu jiwa. Nonstop 30 hari       Kebetu