Skip to main content

Posts

HUJAN (hidden part)

Aku masih belum percaya. Beberapa menit yang lalu Rara masih berjarak semeter dari tempatku berdiri. Kini ia tak berjarak. Tubuhnya menyatu dengan tubuhku. Sepertinya dia sedang terisak-isak. Semenit.... dua menit... tiga menit.... aku masih tertegun, tak bergerak. Sementara itu kelebat orang-orang sekitar kian buram. "Jangan pergi..." bisiknya.

HUJAN ....hmm (missing part)

Sudah pukul tiga dini hari. Mataku enggan mengatup. Pikiran-pikiranku masih terbuai kenangan beberapa hari lalu. Aku meraih sesuatu dalam laci. Gelang karet pemberiannya. Gelang karet berwarna hijau, warna kesukaanku dan benda itu jadi sangat spesial. Apakah aku sudah gila? "Sebenernya elu takut kan? Elu selalu merasa cinta itu salah?" pertanyaan Rara terngiang-ngiang. Lalu pikiranku kembali padanya. Iya, dia, dia yang entahlah, aku tak ingin menyebut namanya. Iya kamu benar, Ra. Aku takut terjebak kembali dalam cinta itu. Aku sudah lama ingin berhenti, menikmati duniaku yang lain, yang lebih nyata. Kamu tahu kan seberapa parahnya aku terluka, saat aku terkubur bersama malam-malam dan siang-siang kelabu. Butuh bertahun-tahun, Ra. Dan ini tidak semudah yang kamu bicarakan. Hah, iya. Kamu tidak tahu, sebab aku tak memberitahu. Hmmm... Gelang itu kini melekat di pergelangan tanganku. Sembari membuka galeri foto di ponsel. Hmm... Ada wajahnya. Ia tersenyu

HUJAN (part 4)

Aku meninggalkan ibukota kemarin. Sisa-sisa gemuruh masih lekat di dada. Segenap hidupku lantas terasa perih. Tahu kan bagaimana perihnya luka yang ditetesi perasan air jeruk nipis. Dia—yang tak pernah mungkin kusebut namanya—pun seolah melupakan malam-malam terkasih, bulan membelai, dan jantung berdegub. "Jangan pergi," kata Rara saat mengantarkan kepergianku di Bandara Soekarno Hatta kemarin. "Tidak ada alasan untuk tinggal. Semua dunia sudah kutinggalkan, Ra." "Bagaimana dengan dia? Elu sudah nembak dia? Atau elu ditolak?" Rara terisak. Ada sedikit keriput di wajahnya yang tak bisa ditutupi sekalipun oleh bedak. "Dia itu sebenarnya tidak ada. Dia itu tokoh fiktif yang aku ciptakan sendiri." Sesederhana itu aku berkata, seperti saat kukatakan pada temanku menjelang operasi pengangkatan tumor beberapa tahun silam, "Besok aku operasi." Tapi kumohon, jangan menerka apa yang ada di dalam sana. Aku tak ingin mengenang

HUJAN (part 3)

Hujan lagi. Aku baru saja menyelamatkan cucianku yang nyaris kering dari terpaan hujan. Petir dan guntur ikut berperang. Haah, kenapa di dunia ini perang selalu muncul. Paling parah sih jika perang batin mendera. Setan dan malaikat saling memberi pengaruh, tapi maaf malaikat, setan selalu menang. Hmm... sepertinya aku perlu banyak beristigfar. "Hadepin. Kalau cinta itu dihadepin. Kan elu gak tahu jodoh kamu nanti? Minimal elu kudu jujur." "Gue udah nyatain cinta sama beberapa orang, ya mesti ditolak sih. So whaat... Manusia berhak melakukan itu dan orang lain kudu menghargai." "Kalo elu sakit setelah menyatakan cinta, itu lebih baik. Daripada elu sakit bertaon-taon gara-gara cuma mendem rasa!" Perbincanganku bersama Rara tadi pagi masih terngiang. Lalu, apa yang harus kulakukan? Aku tahu dia tidak mencintaiku. Dia hanya sekedar.... menganggapku.... teman. Ah, aku jadi ingat. Pada suatu pagi, dia datang padaku. Bibirnya merah tersenyum.

HUJAN (part 2)

"Sebenernya yang bikin gue luluh sama Pak Rudi itu karena dia mau dengerin nasehat-nasehat gue meskipun remeh." Aku mengambil napas dalam, berharap bisa membantunya. Temanku ini terlampau serius dihajar cinta yang tidak pada posisinya. Rara, sebut saja temanku itu. Dia bukan perempuan yang suka bersolek. Meski cantik, ia tak mau memakai taburan bedak atau pewarna lain untuk bibir maupun matanya. Rara menyeruput jus tomat yang tinggal separuh gelas. Sesekali ia melihat jendel a. Di luar hujan, sementara itu orang-orang lalu-lalang di dalam restoran.  "Aku juga ngalamin yang kamu alami sebenarnya sih. Berkali-kali termasuk saat ini," kataku. Ia tiba-tiba menoleh. "Serius lo? Sama siape? Ibu tiri lo?" "Enggaklah. Gila apa? Dan kemarin tidak sengaja duduk sebelahan. Jantungku langsung deg-degan." Aku menarik napas, melirik jendela yang berembun. Hujan, hujan memang selalu menjadi momen pas untuk menggalau ria. Jika diperhatikan

HUJAN (part 1)

Tiba-tiba sebuah pesan mendarat di ponselku, "Hei, lo tahu gak rasanya cinta sama orang yang salah?" "Hahaha.. Gak ada yang salah dalam cinta," jawabku. Seperti biasa, aku hampir selalu mendapat cerita yang sama darinya. Ah, hidup, ah cinta. Aku hanya bisa memberi nasehat sesuka hati sih. Berusaha sok bijaksana dan paham bagaimana cinta itu berjalan. Awalnya sih dia tidak mengaku kalau jatuh cinta dengan atasannya. "Gue cuma kagum doang. Gak lebih." Tapi aku tahu kalau itu menghibur diri. So whattttt.... Jujur aja kalau cinta. Kini aku cuma bisa menatap pesan-pesan yang dia kirim, satu per satu. Beberapa kali aku tertawa akibat kekonyolannya. Ya, cinta memang suka membuat orang bertingkah di luar dugaan. "Gila, kalian udah seperti drama korea tauk! Kurang-kurangilah dramatisnya." Apa lagi yang mesti kukatakan saat dia bilang, "Gue suka bos gue. Sinting, kan?" Yeah, memang cukup gila, tapi apa yang salah dengan itu?

Ajari Aku, Bu (Sebuah Kumpulan Puisi)

Bila pagi tiba langkah kaki terasa hampa menatap lorong waktu yang selalu salah Bila pagi tiba semua aktivitas menyambut dengan indah berharap bisa jadi penenang sebelum malam tiba      Cuplikan penggalan puisi 'Bila' karya Gusti Trisno dalam bukunya terasa mengalun. Apalagi jika ditemani secangkir teh kayu manis hangat. Coba bayangkan aromanya, manis dan hangat di tenggorokan. Bila sudah dicerna, kandungan aktifnya akan mendamaikan kerja otak.      Puisi itu tersemat dalam buku tunggalnya 'Ajari Aku, Bu'. Lahir bulan Agustus 2015. Sebagai orang yang sehobi dengan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Jember itu, saya mengapresiasi kelahiran karyanya. Terlebih Gusti terlahir di kabupaten yang sama, Situbondo.      Puisi Gusti cukup renyah dan sederhana. Tidak butuh mengernyitkan dahi untuk memahami isi lantunan goresan tangannya. Saya hanya perlu sejam untuk melahap habis seluruh muatan kumpulan puisinya. Dibalut dengan sampul ibu bertu

Suara Sajak Sajak (Sebuah Kumpulan Puisi)

Cangkir menjadi lebih cepat kosong Kurasa kau tak suka pahit Mungkinkah karena manis yang kita bubuhkan? Ah, sudahlah! Malu, bintang mengerling genit pada ki ta      Penggalan untaian pikiran Widya Dewi di atas berjudul 'Teh Cinta'. Puisi itu membius saya dengan sederhana, lugas, dan romantis. Bagi saya Widya menyampaikan pesan cinta secara elegan. Dari situ saya ingat tulisan-tulisan Dee yang bagi saya sama sederhana cara penyampaiannya. Puisi ini menjadi pembuka yang mantap dalam buku kumpulan puisi  "Suara Sajak Sajak", meski tidak benar-benar membuka.       Antalogi yang lahir bulan Juni 2015 ini menambah hiasan dunia kesusastraan Indonesia. Terbit secara independen sih, tapi tidak melupakan kodratnya sebagai bayi-bayi yang perlu melahirkan generasi baru. Sempurna memang, sebab 21 penulis yang tergabung dalam komunitas menulis PEDAS—Penulis dan Sastra dengan sigap menggarap kata demi kata hingga utuh menjadi satu jiwa. Nonstop 30 hari       Kebetu

(Sebuah Film) Catatan Akhir Kuliah

     Menonton trailer film Catatan Akhir Kuliah (tonton di sini ), membuat saya kembali pada masa empat tahun silam. Tahun 2011—2012 adalah saat-saat saya berkutat dalam hiruk-pikuk penelitian akhir demi kelulusan. Ada banyak hal kocak dan kisah sedih saat menjadi mahasiswa semester akhir. Saya percaya jika setiap orang memiliki cerita masing-masing menjelang lulus sarjana.        Film ini sengaja diangkat dari sebuah novel berjudul sama karya Sam Maulana. Tokoh utama dalam film ini bernama Sam (Muhadkly Acho) . Kisah persahabatan bersama Sobari (Ajun Perwira) dan Ajeb (Abdur) disuguhkan dengan apik. Mereka bertiga adalah mahasiswa semester akhir yang berjuang dengan skripsinya. Pada suatu waktu mereka berjanji untuk menyelesaikan kuliah segera untuk wisuda bersama.      Berpuluh-puluh kali naskahnya harus direvisi. Ia tampak stress terlebih kedua sahabatnya telah tuntas menyerahkan skripsinya. Itu jelas-jelas mengingatkan saya saat sebagian besar teman-teman angkatan saya

Membakar Serasah Hasil Panen. Bolehkah?

     Sehektar lahan di Kecamatan Wringin Anom, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur, mendadak terbakar. Api-api melahap habis dedaunan kering yang bertumpukan. Asap-asap melambung ke udara menyisakan jelaga dan arang.      Pemilik memang sengaja membakar lahan itu, sebab tebu-tebu telah habis dipanen. Dua orang pekerja dengan lihai menumpuk serasah dan menyulut api. Beberapa saat kemudian... boom... api merambat cepat. Membakar serasah      Ternyata budaya membakar sisa hasil panen di sawah masih terjadi di kampung saya. Padahal, limbah panen merupakan bahan organik terbaik untuk pupuk. Saya mencoba menganalisa sedikit mengapa hal ini masih membudaya. Pertama, manusia ingin sesuatu yang serba cepat dan tidak merepotkan. Kedua, pengetahuan mengenai pemanfaatan serasan belum didapatkan dan gaptek. Ketiga, bisa jadi sudah mengerti tapi masa bodoh. Hehe..      Setelah mencari informasi, membakar sisa hasil panen sebaiknya dihindari. Banyak kerugian yang didapat petani. Pembakar