Skip to main content

Posts

Senandung Pilu Bocah ODHA Telan TB

     Eis, perempuan berusia 55 tahun, sedang mendekap tasnya pada suatu siang, 4 Maret 201,5 di Bandung. Ia menatap ke depan dengan tegas, tetapi matanya sayu. Ia menerawang ke dalam masa-masa yang tak elok, di mana setiap hari ia harus menitikkan air mata, menahan sesak saat mengintip kehidupannya.      Eis duduk di sebuah kursi sebuah ruang pertemuan. Tak beberapa jauh darinya, seorang bocah laki-laki berusia sembilan tahun sedang bermain-main. Entah apa yang dimainkannya, Eis sesekali memperhatikan bocah itu (cucunya). Aria, nama anak itu menderita penyakit yang paling ditakuti manusia, AIDS. Mendengarnya, saya langsung terhenyak. Dalam hati saya hanya bisa bertanya, “Serius?” Kredit : www.blitarkab.go.id      Kutelisik anak itu. Warna kulitnya sawo matang, badannya ringkih, pipinya cekung, dan rambutnya cepak, tetapi dari sorot matanya terpancar harapan. Harapan yang membuat Eis tetap mendekap tubuhnya. Sang nenek kemudian terisak ketika ia mengutip perkataan Aria,

Go Jek, Layanan Ojek Terbarukan

     Menikmati malam di ibukota memang menyenangkan. Lampu-lampu yang mewarnai pinggir jalan saling memamerkan diri. Gedung-gedung tak hanya berdiri megah, tetapi juga menawarkan tingkatan sosial. Berjalan kaki di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta, membuat saya terkagum-kagum. Beragam manusia berpakaian necis dan mobil-mobil mewah membanjiri area itu.      Waktu itu, 10 Februari 2015, saya usai menghadiri Go Jek Bloggers Gathering dan masih ingin menghabiskan malam di pusat keramaian. Namun, ada hal lain yang lebih menghawatirkan. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Itu berarti saya tak punya cukup waktu untuk sendirian menikmati udara malam. Saya harus kembali ke Depok menggunakan kereta Commuter Line . Butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai di kamar terhangat di dunia dan menggelepar tak berdaya di atas kasur. Bersama teman-teman blogger (Kredit: Go Jek)       Saya membayangkan antrian busway di halte memadat. Pasti akan sanga

Membangun Rasa Dalam Puisi

     Beberapa tahun silam saat berdiskusi dengan senior tentang puisi saya seperti bocah yang tak bisa berhenti bertanya. Saya memang sudah menggeluti dunia tulis-menulis puisi sejak usia 14 tahun. Itu pun disebabkan rekan yang rajin ke perpustakaan sedang berdiskusi tentang sastra. Tergelitiklah saya. Diam-diam menculik ilmu dari buku-buku kumpulan puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan penyair lain. Saya ingat betul jika tulisan saya waktu itu masih seputar daya khayal ‘ingin seperti penyair-penyair besar’. Sayangnya saya tidak memiliki dokumennya. Semua puisi sudah saya ubah berulang kali dan pada akhirnya raib tanpa jejak.      Dengan banyak berdiskusi dengan senior saat kuliah, saya pun menjadi paham. “Puisi itu yang terpenting rasa. Percuma bahasa bagus dan sistematika top, tetapi tidak ada rasa,” katanya waktu itu. Dari situ saya belajar kembali. Membaca dan memperhatikan penyair-penyair dalam karyanya. Bahkan saya sempat meng-add orang yang saya tahu dia sering memenan

Prosa tanpa Judul

       kali hanya tubuh yang dipermainkan. Disilet, dicacah, dijahit berulang, atau mungkin direbus dalam kuali besar. Ah, nikmat tubuh saat dikecami garam buta, bisu tuli telinga yang menderu-debu tak dapat lagi berwujud kalimat.       Kepalaku pusing meminta nyawa untuk tunduk padanya. Ia berkata, "kenikmatan dunia kenikmatan akhirat. Pilih yang mana dan kau akan menjadi salah satu penguasanya!"       Ah, itu hanya kata. Bayangkan aku tak dapat berbicara lantang. Aku hanya maya dan berdiri di depan kardus kosong. Ah, aku rindu sebenarnya, bukan kata.      Kata seringkali tak dapat bersedih. Ratapan menjadi iba dan tiupan aroma amis merajalela. Aku sering berontak pada maya yang menggelinding di bawah kakiku. Ia menyelinap dan masuk ke dalam pori-pori layaknya cacing yang menggorok tanah. ( Uwan Urwan )