Skip to main content

Posts

PANCAROBA SANG PERUPA

Memasuki gedung Graha Cipta 2 di Taman Ismail Marzuki akhir Maret 2014 lalu saya disambut hamparan lukisan besar berukuran sekitar 3 m x 4 m. Lukisan yang berdiri di sisi kiri itu menggambarkan sebuah perahu yang memuat banyak orang dengan jenis berbeda. Entahlah, itu tidak bertema dan saya kesulitan menginterpretasikannya. Saya melihat emosi acak di dalamnya. Nuansa biru dan cokelat krem pun seolah sengaja dikombinasikan. Selain itu terdapat kutipan “Ayo senyum dong” dan “Menyayangi masa lalu dan selalu bergerak untuk masa depan”. Meski sinergis dengan beberapa tokoh yang tersenyum, pertentangannya terletak pada ungkapan perasaan ikan berwarna biru dan makhluk cokelat yang tampak marah. Kombinasi warna biru pada air dan oranye—krem pun seolah memberi arti terpisah.    Saya tak berlama-lama menatapnya. Saya tak sabar masuk ke dalam galeri. Di sana saya bukan hanya terkesima, perasaan campur aduk juga melingkupi kepala saya. Beragam gaya dan penampilan sangat terlih

Garda Satwa Cinta Binatang

Kredit : Garda Satwa Sosok anjing jantan itu mengenaskan, tinggal tulang berbalut kulit. Di lehernya terikat rantai dan ditambatkan di halaman rumah. Ia tampak lelah dan tak bertenaga. Kondisi itu dilaporkan seorang warga Kelapa Gading, Jakarta Utara, yang prihatin kepada Garda Satwa, salah satu komunitas pecinta binatang. Mendapatkan laporan itu Garda Satwa bersama Jakarta Animal Aid Network (JAAN) segera mengambil tindakan. Meski sempat bersitegang dengan perangkat desa, anjing itu pun berhasil dibawa dan dirawat. “Gila, anjing itu ditingal pemiliknya ke luar negeri selama 7 bulan dan menurutnya, anjing itu dititipkan kepada teman yang juga penyayang binatang. Kalau penyayang binatang tidak mungkin kondisinya seperti ini,” ungkap Davina Veronica Hariadi gemas, salah satu pendiri Garda Satwa. Saya sontak terkejut saat ia menunjukkan gambar anjing saat diselamatkan. Beberapa bulan pascaperawatan, anjing itu pun tampak sehat.  Davina Veronica Hariadi Kasus lain me

Kebangkitan Roh Wiji Thukul dalam Asean Literary Festival

Bagian 1 Bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: LAWAN!      Itulah penggalan puisi berjudul “Peringatan” karya penyair tersohor, Wiji Thukul. Geloranya membara pada setiap kata dan puncaknya pada teriakan “LAWAN”. Bentuk perlawanan itu tak hanya dalam bentuk syair. Pengorbanan untuk masyarakat marginal-lah yang melahirkan puisi itu dari benaknya. Pria kelahiran Solo, 23 Agustus 1963 itu pun berafiliasi dengan partai yang dicap haram hingga ia mendapatkan represi dari aparat sehingga ia menjadi buronan pemerintah. Kini telah 14 tahun sosok itu menghilang (atau dihilangkan) dari peradaban. Entah, tak ada yang mengerti. Wiji Thukul (sumber : anonim)       Menjadi inspirasi bagi dunia melalui karya dan aksinya, Asean Literary Festival