Skip to main content

Posts

CERMIN (sebuah percakapan)

     Cinta itu ibarat buah cabai. Merah, menggoda, dan menarik. Dalam teori apapun warna merah adalah lambang hasrat dan cinta. Sama seperti buah cabai merah. Penampilannya saja membuat bibir kelu, ketika empat pasang seri memotong, biji-biji terlepas. Lidah menekan dan menarik biji-biji itu dengan gaya adesif yang disebabkan karena ludah. Bukan bacin!       Cabai! Lihat saja bentuknya yang langsing. Dialah wanita. Cabai itu wanita penggoda. Dia akan menggoda mulai dari mata sampai birahi. Pantas saja bibir gincu merah lebih disukai perempuan. Suaminya akan menggigit hingga biji-biji keluar. Sementara lidah punya gaya magnet sehingga saling berlekatan dengan biji-biji itu. Beberapa detik kemudian saraf terjaga karena rasanya. Menggelegar.       Ah, saya baru tahu kalau ada rasa ketujuh, ‘menggelegar’. Bukan petir menyambar. Namun, rasakan saja cabai pedas. Pedasnya super pedas. Apalagi cabai keriting yang menggeliat itu. Pedasnya akan membahana di seluruh ruang otak

Sudah Main ke Hutan Penelitian di Situbondo Yang Hits Itu?

     Senang sih kalau saya disebut-sebut kelahiran Situbondo. Walaupun termasuk kota kecil, tempat itu penuh sejarah. Berbagai kisah sedih, kelam, bahagia, dan bahkan biasa saja ada di sana. Lebaranpada Agustus 2013 kemarin saya pulang kekota itu.      Piuf, ternyata setiap turun dari bus, saya hampir selalu tidak mengenali jalan-jalan yang dulu saya lewati setiap hari. Saya pangling. Mungkin karena terlalu lama di negeri orang. Iya, sebelumnya saya kuliah di Malang selama beberapa tahun dan saat ini saya bekerja di Jakarta.  Hiruk-pikuk kota besar membuat saya seringkali lupa daratan (ceile, istilahnya Bahasa Indonesia banget).      Setiap pulang kampung, rasanya ingin mengunjungi banyak tempat dalam satu hari. Dan itu tidak mungkin bisa dilakukan. Dan berbekal kamera 'keren' saya menyusuri lokasi yang dulu sering ingin dikunjungi. Sore hari menjelang matahari terbenam saya melajukan motor butut ke arah Dusun Locancang, Kecamatan Panarukan, Kabupaten Situbondo. Di

RADIT

  Instrumen Damai Bersamaku oleh Erwin Gutawa mengalun sendu di balik telingaku. Suara piano yang ter gesek lembut menghembuskan angin sambil menyapu pipi. Bunga-bunga berguguran di bawah pepohonan. Aku berlarian seperti Syahrukh Khan di film-film Bollywood , mengejar layangan yang putus sambil tersenyum pada dunia. Semua adeganku terjadi cukup lambat menyesuaikan alunan biola yang bergesek. Semakin lama musik itu semakin cepat. Membuat tubuhku berputar-putar seperti di adegan Titanic ketika Kate dan Leonardo berputar-putar di sebuah pesta. Putaran tubuhku juga semakin cepat. Cepat dan GUBRAK. Aku jatuh. Matahari menusuk mata yang terpejam, memaksa untuk membukanya. Tangan-tangannya mencongkel kelopak mata dan akhirnya dia berhasil membuka mataku. Kejadian tadi benar-benar membuatku pusing. Mimpi jenis apa tadi? Kepalaku seperti batok kelapa yang dipukul berkali-kali ke batu agar pecah. Arggh. Sudah siang ternyata. Apa? Belum sholat Subuh? Aku melirik jam weker yang tak jauh