Skip to main content

Posts

Showing posts with the label sastra

Sejarah Baru Raden Ayu

Karakter manusia itu tak pernah lepas dari masa lalu. Mengenang kemerdekaan, mengenang kepergian seseorang, termasuk mengenang Hari Kartini. Hari Kartini sudah lewat. Sengaja saya posting jauh dari titik waktu yang dimaksud. Tujuannya untuk mengenang. Mengenang masa lalu. Yes. Right .  Kartini itu siapa sih? Kenapa Kartini penting banget buat diingat-ingat? Kenapa? Masih ada banyak perempuan hebat lain untuk dikenang dan dibanggakan? Kenapa Kartini sangat spesial di mata orang Indonesia? Well , Kartini memang sosok hebat. Tanpa Kartini mungkin perempuan-perempuan tak akan seberani sekarang, meski belum tentu juga ya. Tapi sejarah tetaplah sejarah. Kita harus tetap menghargainya sebagai penanda bahwa masa lalu itu ada dan ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari situ. Mengingat begitu pentingnya Kartini, saya mencoba merangkum beberapa hal yang wajib kita jaga sampai kapan pun (ini sih buat perempuan. Haha) 1. Kodrat perempuan itu fitrah Sesimpel itu sih. Kartini tak p

Pekan Literasik Situbondo Kobarkan Semangat Membaca

Pemuda Situbondo begitu gigih perjuangkan nasib mereka dan kota tempat tinggalnya. Terbukti dengan gagasan singkat Gerakan Situbondo Membaca (GSM) dan Komunitas Penulis Muda Situbondo (KPMS) terciptalah Pekan Literasik Situbondo (saya singkat PLS saja ya biar gampang). Kegiatan ini berlangsung selama tiga hari, 15-17 Maret 2017.  Dengan berbagai macam rangkaian, meliputi bedah buku Musem Ibu karya Gusti Trisno yang dibedah Ahmad Yusuf, dosen Unars Situbondo; diskusi buku Dangdut Madura karya Panakajaya Hidayatullah, dibahas Wahyu Aves, seniman musik Situbondo; Diskusi dunia buku bersama Ahmad Nur dan Irwan Kurniadi; diskusi membuat novel bersama Ahmad Sufiatur Rahman, penulis novel nasional; diskusi sastra daerah tapal kuda bersama Hat Pujiati, penulis buku Spritualitas dan Muhammad Mukhlis; serta bedah buku puisi dan pentas seni dengan pembacaan puisi dari KPMS dengan diiringi seniman Ali Gardy di aula Dinas Perpustakaan dan Kerasipan Situbondo.   Acara berlangsung meriah de

Pesan dan Batang

Aku mendiamkan pesan seorang kawan, "Mau sampai kapan kamu menghilang jika terdampar perkara?" Sambil menyesap batang rokok ketiga, bulan sabit mulai menari-nari bersama awan. Bintang-bintang mencoba bersembunyi dariku.  Hmm.. ternyata batang rokok lebih nyaman kukunyah ketimbang dibakar. Apa mesti kubuang?  Tung tung tung. Ponselku berdering. Sebuah pesan masuk. "Kamu di mana? Kamu gak apa-apa kan? Maaf, kalau aku mengganggu, tapi aku khawatir." Usai membaca pesan itu, kutekan tombol 'shut down'. Huff, aku berharap bebas dari kekhawatiran-kekhawatiran yang berlebihan itu. Tolong beri waktu untuk melebur hal-hal yang terjadi kemarin. Semakin kamu menggangguku, semakin aku benci. Bukannya kamu tahu itu? Udara kian dingin. Awan-awan sudah habis menyelimuti bintang. Batang-batang rokokku pun tak tersisa, hanya tinggal bungkusnya. Apa perlu kumakan juga? 21 Desember 2014

HUJAN (hidden part)

Aku masih belum percaya. Beberapa menit yang lalu Rara masih berjarak semeter dari tempatku berdiri. Kini ia tak berjarak. Tubuhnya menyatu dengan tubuhku. Sepertinya dia sedang terisak-isak. Semenit.... dua menit... tiga menit.... aku masih tertegun, tak bergerak. Sementara itu kelebat orang-orang sekitar kian buram. "Jangan pergi..." bisiknya.

HUJAN ....hmm (missing part)

Sudah pukul tiga dini hari. Mataku enggan mengatup. Pikiran-pikiranku masih terbuai kenangan beberapa hari lalu. Aku meraih sesuatu dalam laci. Gelang karet pemberiannya. Gelang karet berwarna hijau, warna kesukaanku dan benda itu jadi sangat spesial. Apakah aku sudah gila? "Sebenernya elu takut kan? Elu selalu merasa cinta itu salah?" pertanyaan Rara terngiang-ngiang. Lalu pikiranku kembali padanya. Iya, dia, dia yang entahlah, aku tak ingin menyebut namanya. Iya kamu benar, Ra. Aku takut terjebak kembali dalam cinta itu. Aku sudah lama ingin berhenti, menikmati duniaku yang lain, yang lebih nyata. Kamu tahu kan seberapa parahnya aku terluka, saat aku terkubur bersama malam-malam dan siang-siang kelabu. Butuh bertahun-tahun, Ra. Dan ini tidak semudah yang kamu bicarakan. Hah, iya. Kamu tidak tahu, sebab aku tak memberitahu. Hmmm... Gelang itu kini melekat di pergelangan tanganku. Sembari membuka galeri foto di ponsel. Hmm... Ada wajahnya. Ia tersenyu

HUJAN (part 4)

Aku meninggalkan ibukota kemarin. Sisa-sisa gemuruh masih lekat di dada. Segenap hidupku lantas terasa perih. Tahu kan bagaimana perihnya luka yang ditetesi perasan air jeruk nipis. Dia—yang tak pernah mungkin kusebut namanya—pun seolah melupakan malam-malam terkasih, bulan membelai, dan jantung berdegub. "Jangan pergi," kata Rara saat mengantarkan kepergianku di Bandara Soekarno Hatta kemarin. "Tidak ada alasan untuk tinggal. Semua dunia sudah kutinggalkan, Ra." "Bagaimana dengan dia? Elu sudah nembak dia? Atau elu ditolak?" Rara terisak. Ada sedikit keriput di wajahnya yang tak bisa ditutupi sekalipun oleh bedak. "Dia itu sebenarnya tidak ada. Dia itu tokoh fiktif yang aku ciptakan sendiri." Sesederhana itu aku berkata, seperti saat kukatakan pada temanku menjelang operasi pengangkatan tumor beberapa tahun silam, "Besok aku operasi." Tapi kumohon, jangan menerka apa yang ada di dalam sana. Aku tak ingin mengenang

HUJAN (part 3)

Hujan lagi. Aku baru saja menyelamatkan cucianku yang nyaris kering dari terpaan hujan. Petir dan guntur ikut berperang. Haah, kenapa di dunia ini perang selalu muncul. Paling parah sih jika perang batin mendera. Setan dan malaikat saling memberi pengaruh, tapi maaf malaikat, setan selalu menang. Hmm... sepertinya aku perlu banyak beristigfar. "Hadepin. Kalau cinta itu dihadepin. Kan elu gak tahu jodoh kamu nanti? Minimal elu kudu jujur." "Gue udah nyatain cinta sama beberapa orang, ya mesti ditolak sih. So whaat... Manusia berhak melakukan itu dan orang lain kudu menghargai." "Kalo elu sakit setelah menyatakan cinta, itu lebih baik. Daripada elu sakit bertaon-taon gara-gara cuma mendem rasa!" Perbincanganku bersama Rara tadi pagi masih terngiang. Lalu, apa yang harus kulakukan? Aku tahu dia tidak mencintaiku. Dia hanya sekedar.... menganggapku.... teman. Ah, aku jadi ingat. Pada suatu pagi, dia datang padaku. Bibirnya merah tersenyum.

HUJAN (part 2)

"Sebenernya yang bikin gue luluh sama Pak Rudi itu karena dia mau dengerin nasehat-nasehat gue meskipun remeh." Aku mengambil napas dalam, berharap bisa membantunya. Temanku ini terlampau serius dihajar cinta yang tidak pada posisinya. Rara, sebut saja temanku itu. Dia bukan perempuan yang suka bersolek. Meski cantik, ia tak mau memakai taburan bedak atau pewarna lain untuk bibir maupun matanya. Rara menyeruput jus tomat yang tinggal separuh gelas. Sesekali ia melihat jendel a. Di luar hujan, sementara itu orang-orang lalu-lalang di dalam restoran.  "Aku juga ngalamin yang kamu alami sebenarnya sih. Berkali-kali termasuk saat ini," kataku. Ia tiba-tiba menoleh. "Serius lo? Sama siape? Ibu tiri lo?" "Enggaklah. Gila apa? Dan kemarin tidak sengaja duduk sebelahan. Jantungku langsung deg-degan." Aku menarik napas, melirik jendela yang berembun. Hujan, hujan memang selalu menjadi momen pas untuk menggalau ria. Jika diperhatikan

HUJAN (part 1)

Tiba-tiba sebuah pesan mendarat di ponselku, "Hei, lo tahu gak rasanya cinta sama orang yang salah?" "Hahaha.. Gak ada yang salah dalam cinta," jawabku. Seperti biasa, aku hampir selalu mendapat cerita yang sama darinya. Ah, hidup, ah cinta. Aku hanya bisa memberi nasehat sesuka hati sih. Berusaha sok bijaksana dan paham bagaimana cinta itu berjalan. Awalnya sih dia tidak mengaku kalau jatuh cinta dengan atasannya. "Gue cuma kagum doang. Gak lebih." Tapi aku tahu kalau itu menghibur diri. So whattttt.... Jujur aja kalau cinta. Kini aku cuma bisa menatap pesan-pesan yang dia kirim, satu per satu. Beberapa kali aku tertawa akibat kekonyolannya. Ya, cinta memang suka membuat orang bertingkah di luar dugaan. "Gila, kalian udah seperti drama korea tauk! Kurang-kurangilah dramatisnya." Apa lagi yang mesti kukatakan saat dia bilang, "Gue suka bos gue. Sinting, kan?" Yeah, memang cukup gila, tapi apa yang salah dengan itu?

Ajari Aku, Bu (Sebuah Kumpulan Puisi)

Bila pagi tiba langkah kaki terasa hampa menatap lorong waktu yang selalu salah Bila pagi tiba semua aktivitas menyambut dengan indah berharap bisa jadi penenang sebelum malam tiba      Cuplikan penggalan puisi 'Bila' karya Gusti Trisno dalam bukunya terasa mengalun. Apalagi jika ditemani secangkir teh kayu manis hangat. Coba bayangkan aromanya, manis dan hangat di tenggorokan. Bila sudah dicerna, kandungan aktifnya akan mendamaikan kerja otak.      Puisi itu tersemat dalam buku tunggalnya 'Ajari Aku, Bu'. Lahir bulan Agustus 2015. Sebagai orang yang sehobi dengan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Jember itu, saya mengapresiasi kelahiran karyanya. Terlebih Gusti terlahir di kabupaten yang sama, Situbondo.      Puisi Gusti cukup renyah dan sederhana. Tidak butuh mengernyitkan dahi untuk memahami isi lantunan goresan tangannya. Saya hanya perlu sejam untuk melahap habis seluruh muatan kumpulan puisinya. Dibalut dengan sampul ibu bertu

Suara Sajak Sajak (Sebuah Kumpulan Puisi)

Cangkir menjadi lebih cepat kosong Kurasa kau tak suka pahit Mungkinkah karena manis yang kita bubuhkan? Ah, sudahlah! Malu, bintang mengerling genit pada ki ta      Penggalan untaian pikiran Widya Dewi di atas berjudul 'Teh Cinta'. Puisi itu membius saya dengan sederhana, lugas, dan romantis. Bagi saya Widya menyampaikan pesan cinta secara elegan. Dari situ saya ingat tulisan-tulisan Dee yang bagi saya sama sederhana cara penyampaiannya. Puisi ini menjadi pembuka yang mantap dalam buku kumpulan puisi  "Suara Sajak Sajak", meski tidak benar-benar membuka.       Antalogi yang lahir bulan Juni 2015 ini menambah hiasan dunia kesusastraan Indonesia. Terbit secara independen sih, tapi tidak melupakan kodratnya sebagai bayi-bayi yang perlu melahirkan generasi baru. Sempurna memang, sebab 21 penulis yang tergabung dalam komunitas menulis PEDAS—Penulis dan Sastra dengan sigap menggarap kata demi kata hingga utuh menjadi satu jiwa. Nonstop 30 hari       Kebetu

Sejumput Kisah Bersama Bapak

Dari balik dinding kaca ruang tamu, kuperhatikan seorang laki-laki berusia seperdua abad membongkar isi perut sepeda motor. Wajahnya penuh keringat, begitu pun tangannya yang tak berupa. Penuh tanda-tanda hitam dari darah organ-organ benda bermesin itu. Laki-laki itu mengotak-atik, membersihkan bagian kotor, menjahit yang luka, memastikan saraf-sarafnya masih berfungsi, lalu menempatkan kembali perkakas ke dalam tempatnya semula. Kemudian ia mencoba menyalakan alat transportasi itu. Begitu nyala, ia memastikan makhluk berbahan bakar itu berada dalam kondisi fit. Barulah ia akan berkata, “Sudah.” Pemilik motor kemudian akan menyerahkan beberapa lembar rupiah kepada laki-laki itu. Pria itu menghela napas dan berdiri, memperhatikan sejumlah pelanggan lain yang menunggu gerakan tangannya untuk membenarkan kerusakan pada motor-motor mereka. Masih ada tiga orang yang menunggu. Jam dinding menunjukkan pukul 11.00 WIB. Waktu sarapan telah lewat. Padahal biasanya ia bersantap bersama is

Membangun Rasa Dalam Puisi

     Beberapa tahun silam saat berdiskusi dengan senior tentang puisi saya seperti bocah yang tak bisa berhenti bertanya. Saya memang sudah menggeluti dunia tulis-menulis puisi sejak usia 14 tahun. Itu pun disebabkan rekan yang rajin ke perpustakaan sedang berdiskusi tentang sastra. Tergelitiklah saya. Diam-diam menculik ilmu dari buku-buku kumpulan puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan penyair lain. Saya ingat betul jika tulisan saya waktu itu masih seputar daya khayal ‘ingin seperti penyair-penyair besar’. Sayangnya saya tidak memiliki dokumennya. Semua puisi sudah saya ubah berulang kali dan pada akhirnya raib tanpa jejak.      Dengan banyak berdiskusi dengan senior saat kuliah, saya pun menjadi paham. “Puisi itu yang terpenting rasa. Percuma bahasa bagus dan sistematika top, tetapi tidak ada rasa,” katanya waktu itu. Dari situ saya belajar kembali. Membaca dan memperhatikan penyair-penyair dalam karyanya. Bahkan saya sempat meng-add orang yang saya tahu dia sering memenan