Skip to main content

Posts

Showing posts with the label lingkungan

Pemuda Situbondo Deklarasikan Antinarkoba dan Kampanyekan Lingkungan

Pemuda Situbondo menenteng sampah Pagi itu (26/11/2016) langit cerah. Rombongan pemuda berpakaian mayoritas hitam menenteng plastik merah besar di pinggiran Pantai Pasir Putih, Situbondo. Perahu-perahu wisata menepi, ban-ban tersusun rapi, juga pedagang asongan bernaung di bawah rindangnya ketapang ( Terminalia catappa ) dan Waru ( Hibiscus tiliaceus ). Pemuda-pemuda itu memunguti sampah anorganik dan Menyimpannya ke dalam plastik sepanjang 2 KM di pinggiran pantai wisata itu. Pukul 10.00 WIB kegiatan memungut sampah usai. Pemuda-pemuda tersebut beristirahat di sebuah aula. Suara band bertabuh dan semilir angin membawa sejuk.  Bunga Hibiscus tiliaceus   sejukkan pantai Sebanyak 14 komunitas dari Slank Fans Club (SFC) Situbondo , Si Ponsel , Backpacker Situbondo, Oi Situbondo, Bonex Situbondo, Ganesha, Bengkel Seni Unars, Komunitas Penulis Muda Situbondo (KPMS), Smadapala, Gerakan Situbondo Membaca, KPGN, Generasi Mahardika, LPP, dan OSD Situbondo, turut mendukung

Bahan Bakar Ramah Lingkungan

Global warming disebabkan oleh gas rumah kaca (kredit: planetsave.com) Kekhawatiran dunia jika sumber bahan bakar minyak dunia habis sudah menjadi sorotan sejak lama. Terlebih lagi isu global warming mencuat akibat kerusakan alam menuai komentar miris bagi pemerhati lingkungan. Dunia telah mengalami pemanasan global yang kian hari kian meluas. Meningkatnya jumlah industri dan sarana transportasi di dunia tentu saja diikuti dengan meningkatnya jumlah bbm yang digunakan kian memperkeruh krisis ini. Penggunaan bbm dari fosil menambah jumlah CO 2 di udara. Menurut Sulistyono dalam risetnya yang berjudul “ Pemanasan Global (Global Warming) Dan Hubungannya Dengan Penggunaan Bahan Bakar Fosil ” menjelaskan bahwa perubahan    iklim    yang    semakin berbahaya ini didorong oleh peningkatan produksi   buangan   gas   rumah   kaca   dihasilkan oleh tindakan-tindakan manusia.   Peningkatan   gas   rumah   kaca yang   paling   membahayakan   disebabkan oleh buangan CO 2 yang di

Berbenah dengan Sampah

Masalah sampah belum teratasi (kredit: ilovebondowoso.com) Masalah sampah sepertinya akan terus menjadi masalah pelik yang sulit ditangani. Hal itu cukup meresahkan. Dari beragam jenis sampah, ternyata Indonesia menduduki peringkat kedua setelah Tiongkok sebagai penghasil sampah plastik di laut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) menyebutkan plastik dari 100 toko atau Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) dalam setahun mencapai 10,95 juta lembar sampah kantong plastik Gaya hidup masyarakat masih belum terlalu berganti meski Mohamad Bijaksana Junerosano, aktivis lingkungan, memperjuangkan plastik berbayar untuk pembelian produk di pasar modern. Harga Rp200 untuk tiap plastik dianggap terlalu remah, sehingga kewaspadaan masyarakat pun tetap tak tergerak.  Masyarakat tetap banyak menggunakan plastik meski beberapa lalu sadar dan memanfaatkan tas daur ulang sebagai bentuk cinta lingkungan. Bijaksana tak sendiri. Ia bersama komunitas peduli lingkung

Menuju Bumi Sehat Bersama Komunitas Anak Kali Ciliwung

Rumah adalah surga tak terelakkan, sementara itu bumi itu tempat tinggal manusia dan beragam makhluk lain.      Pandangan saya seketika jatuh pada sebuah rumah bernuansa kayu, tepat di tepi Sungai Ciliwung, Kampung Tongkol RT 04 RW 01, Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Rumah itu tampak sederhana dengan dinding bata timbul di lantai satu dan sepenuhnya menggunakan material kayu (sebagian besar dindingnya bambu) di lantai dua dan tiganya. Dibandingkan dengan rumah-rumah di sepanjang Sungai Ciliwung, rumah inilah yang berbeda, karena mencolok.      Terlihat kurang menarik memang jika dibandingkan dengan hunian perumahan elit, tapi justru rumah itu punya kisah dan konsep. Komunitas Anak kali Ciliwung, begitulah mereka menamakan sekumpulan warga peduli lingkungan itu, memotong rumah demi menjaga komitmen jalur inspeksi. Jalur inspeksi selebar 5 m dari batas sungai untuk jalan dan belakang rumah pun selebar 5 m untuk memberi ruang antara rumah dan tembok benteng kota

Membakar Serasah Hasil Panen. Bolehkah?

     Sehektar lahan di Kecamatan Wringin Anom, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur, mendadak terbakar. Api-api melahap habis dedaunan kering yang bertumpukan. Asap-asap melambung ke udara menyisakan jelaga dan arang.      Pemilik memang sengaja membakar lahan itu, sebab tebu-tebu telah habis dipanen. Dua orang pekerja dengan lihai menumpuk serasah dan menyulut api. Beberapa saat kemudian... boom... api merambat cepat. Membakar serasah      Ternyata budaya membakar sisa hasil panen di sawah masih terjadi di kampung saya. Padahal, limbah panen merupakan bahan organik terbaik untuk pupuk. Saya mencoba menganalisa sedikit mengapa hal ini masih membudaya. Pertama, manusia ingin sesuatu yang serba cepat dan tidak merepotkan. Kedua, pengetahuan mengenai pemanfaatan serasan belum didapatkan dan gaptek. Ketiga, bisa jadi sudah mengerti tapi masa bodoh. Hehe..      Setelah mencari informasi, membakar sisa hasil panen sebaiknya dihindari. Banyak kerugian yang didapat petani. Pembakar

Organik Lombok Kulon

     Hamparan padi dan berbagai tanaman hortikultura di lahan seluas 25 ha membuat saya berdecak kagum. Kondisi itu jauh berbeda ketimbang 5 tahun lalu yang tak terawat dan kumuh. Pagi itu masih bulan Mei 2014, langit membiru dan awan-awan putih menggeliat satu per satu. Kedatangan saya di kampung halaman, Desa Lombok Kulon, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur, disambut nuansa hijau.  sumber : portalkbr.com      Rasa sejuk itu bukan tanpa sebab, berdasarkan informasi yang baru saya dapatkan ternyata desa saya telah dinobatkan sebagai desa organik. Tanpa menunggu matahari hingga di atas ubun-ubun saya mengunjungi titik yang dimaksud. Selain perasaan bangga saya juga takjub dengan sambutan ramah Baidhowi, perintis desa organik. “Dua puluh lima ha telah disertifikasi oleh Lembaga Sertifikasi Organik Seloliman (Lessos),” katanya menegaskan. Ia menggunakan pupuk dan pestisida berbahan alam. Untuk mengendalikan hama walang sangit ia menggunakan daun panda

Malam Naga-Naga Kawin

     Waktu menunjukkan pukul 21.00 di bawah langit Dusun Rowotengu, Desa Sidomulyo, Kecamatan Semboro, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur. Rintik-rintik kecil membasahi tanah pada akhir periode 2013. Di sela-sela perbincangan bersama Asroful Uswatun, pemilik kebun buah naga, suara katak dan jangkrik bersenandung memecah bisikan angin. Aliran udara lembut itu sayup-sayup mematahkan setengah kesadaran saya. Hingga beberapa menit berselang dua sosok laki-laki paruh baya mengayuh sepeda mendekat. Mereka menembus malam bergerimis lengkap dengan jaket dan sepatu bot di tubuh. Saya menduga mereka hendak mencari hewan malam di sawah atau ladang.      Setelah berjarak sekitar 10 m barulah saya tahu jika kedua pria itu karyawan kebun Asroful. Lalu mereka melabuhkan sepeda di bawah naungan. Rasa ingin tahu saya tergugah. “Sebentar lagi mereka akan menyerbukkan buah naga,” kata Asroful. Saya kembali menyelidik mengapa harus dilakukan pada malam hari? Bukankah pada pagi hari akan lebi