Skip to main content

Posts

Showing posts with the label info

Batik Situbondo, Warisan Indah dari Ujung Tapal Kuda

Aku selalu percaya bahwa batik bukan hanya kain. Ia adalah bahasa yang ditulis dengan lilin, dibaca dengan hati, lalu diwariskan lewat generasi. Maka ketika aku berkunjung ke Pameran Batik Situbondo di Paseban, Alun-alun Situbondo, aku merasa seperti pulang. Di balik tiap goresan malam dan warna yang melekat pada kain, tersimpan cerita tentang alam, budaya, dan manusia Situbondo. Batik Situbondo bukan sekadar motif yang indah dipandang, tetapi cermin dari sebuah identitas. Aku kagum bagaimana kain yang mungkin tampak sederhana bisa menjelma jadi simbol kebanggaan, sekaligus pengingat bahwa budaya Situbondo masih berdenyut dengan kuat di tengah arus zaman. Batik Daun Kelor, Filosofi Hidup dari Alam Situbondo Di antara banyak karya yang dipamerkan, ada satu yang paling membuatku terpukau, yautu batik daun kelor. Motif kecil berbentuk oval yang tersusun majemuk ini seolah menyalin kehidupan orang Situbondo, sederhana tetapi kuat. Bukankah kelor dikenal sebagai tanaman seribu manfaat? Maka...

Series S Line, Drakor Viral yang Bongkar Luka Batin Manusia

Saat menonton S Line, kemudian aku tahu aku harus menulis review drama Korea ini. Alasannya sederhana, aku kagum bagaimana sebuah drakor viral ini berani membicarakan luka batin, trauma, dan PTSD tanpa harus menjejalkan istilah psikologis secara gamblang. Justru di situlah kekuatannya. Kisah Shin Hyun-Heup (Arin) bukan hanya tentang “melihat garis merah” di atas kepala orang lain, melainkan tentang bagaimana seorang remaja yang hancur berusaha berdamai dengan masa lalunya. Sebagai penonton, aku merasakan perjalanan ini bukan sekadar fantasi misteri. Ada kejujuran pahit yang membuatku berkaca pada luka manusia yang sering disembunyikan. Dan S Line menampilkannya dengan cara yang unik, lewat simbol garis merah yang menghubungkan orang-orang yang pernah terikat secara intim. Dari Trauma Menuju Kekuatan untuk Bangkit  Sejak episode pertama, aku langsung dibuat terenyuh melihat kehidupan Shin Hyun-Heup. Gadis SMA ini hidup dengan trauma berat setelah ibunya membunuh ayahnya karena pers...

Penyair Situbondo Tak Mau Puisi Mati di Kota Sendiri

Aku masih ingat malam itu. Malam ketika suara kami akhirnya keluar dari ruang-ruang sunyi dan membaur dengan tawa orang-orang di sebuah kedai kopi. Malam ketika puisi yang lama tertidur akhirnya terbangun dan mulai mencari rumah baru di hati siapa saja yang mau mendengarnya. Sebagai pemuda Situbondo yang tumbuh dalam kebisuan kata-kata, aku tidak pernah menyangka bahwa baca puisi Situbondo bisa sehangat ini. Dan semua berawal dari keresahan kecil yang tumbuh menjadi gerakan penuh cinta dan keberanian. Kami Pemuda Situbondo yang Tidak Mau Puisi Mati Begitu Saja Bulan Juni dan Juli adalah bulan yang sibuk bagi kami para mahasiswa Situbondo yang mencintai puisi. Bersama teman-teman seperti Syarif , Iqbal , dan aku sendiri, kami memutuskan untuk tidak menunggu panggung datang. Kami menciptakan sendiri panggung itu di tengah kafe Situbondo, dengan nama kegiatan yang sederhana tetapi bermakna malam baca puisi Situbondo. Event pertama kami adakan di Stasiun Kopi Kang Dodik yang terletak di S...

Datang Malam ke Situbondo Jangan Harap Bisa Makan Tajin Palappa

Masa sih makanan khas cuma dijual pagi hari? Itulah pertanyaan pertama yang dilontarkan temanku dari luar kota ketika kami gagal menemukan satu pun penjual tajin palappa di Situbondo saat matahari sudah condong ke barat. Ia tertawa getir, lalu berkata, “Apa mereka nggak pengen untung lebih?”  Aku cuma bisa membalas senyum, sambil menahan geli yang getir juga. Karena memang benar, di kota kecil ini, ada satu jenis makanan Situbondo yang bisa menghilang lebih cepat dari perasaan mantan, tajin palappa. Coba cari malam hari, jangankan di pinggir jalan, di dalam mimpi pun tidak akan muncul. Sebagai warga lokal yang sudah akrab dengan kuliner Situbondo sejak kecil, aku paham rasa kecewa itu. Tapi mungkin justru di situlah keistimewaannya. Tajin palappa adalah rasa yang hanya hadir di pagi hari dan ia tidak akan menunggu siapa pun yang terlambat bangun. Tajin Palappa Cuma Pagi Kenapa Harus Seribet Itu? Penampakan tajin palappa sebelum disiram bumbu kacang Kalau kamu belum pernah mencicipi...

Menyelami Luka Psikologis Perempuan Lewat Film A Normal Woman

Waktu itu aku lagi makan siang sendirian, gabut, dan iseng buka aplikasi streaming. Niatnya cari tontonan ringan, film Indonesia aja, biar deket dan relate. Lalu mataku tertumbuk pada A Normal Woman. Aku sempat ragu, karena beberapa hari sebelumnya temanku bilang film ini agak mengecewakan. Tapi justru karena itulah aku jadi penasaran. Apa iya, film seintens ini gagal menyampaikan pesannya? Film ini dibuka dengan lagu klasik Que Sera Sera. Liriknya: Will I be pretty? Will I be rich? langsung bikin aku merasa, “Kayaknya ini bukan film biasa.” Dan bener aja, lagu itu jadi semacam simbol seluruh isi film: ekspektasi sosial, keindahan semu, dan perempuan yang hidup dalam tekanan. Di Balik Rumah Mewah dan Senyum yang Dipaksakan Menonton A Normal Woman rasanya seperti mengintip kehidupan orang lain yang terlihat sempurna dari luar, tapi ternyata rapuh dan penuh luka dari dalam. Film ini bercerita tentang Milla, seorang perempuan keturunan Tionghoa yang hidup dalam lingkaran sosialita, kemewa...

Mie Ayam Situbondo Ini Tidak Hanya Enak, Tapi Mengerti Perasaan

Beberapa orang mungkin punya cara mahal untuk merayakan gajian, yaitu belanja baju baru, staycation, atau ngopi cantik. Tapi aku? Cuma butuh es tebu dan semangkuk mie ayam enak di warung kecil bernama Mie Ayam Tunggal Rasa. Simpel. Murah. Tapi cukup bikin dada hangat. Hari itu, aku cuma ingin menyenangkan diri sendiri. Setelah belanja perlengkapan untuk kucing, ya, kucingku duluan yang dapat jatah gajian, aku menepi, menarik napas, dan bertanya pada diriku, "Apa ya yang bisa bikin hidupku terasa manis hari ini?" Jawabannya adalah mie ayam. Dan seperti panggilan semesta, aku pun mampir ke salah satu kuliner Situbondo yang diam-diam jadi favoritku. Bukan Warung Biasa, Tapi Warung yang Pernah Menyelamatkan Hariku Aku pertama kali makan di Mie Ayam Tunggal Rasa karena diajak teman. Satu kali makan, aku langsung klik sama rasanya. Nggak lebay, tapi cukup buat bikin lidah percaya diri bilang, “Ini dia, mie ayam Situbondo yang aku cari.” Lokasinya gampang dicari, yaitu di Jl. Basuk...

Film Lastarè Diputar di Pendopo, Bupati Situbondo Bangga Tapi Aku Lebih Bahagia

Dukungan Bupati Situbondo kepada Komunitas Film Situbondo menyemangati kami Pendopo itu tidak pernah sehangat ini. Bukan karena udara Situbondo yang belakangan makin gerah, tapi karena malam itu, kursi-kursi yang biasa ditempati pejabat dan tamu undangan, dihuni oleh kami, para sineas muda dengan mata berbinar. Film Lastarè, film pendek Situbondo yang kuproduseri bersama Pintu Project, akhirnya diputar di ruang sakral, yang terbuka bagi siapa yang tertarik menonton. Aku tidak sedang bermimpi. Ini nyata. Dan meski Bupati Situbondo berhalangan hadir, sambutan virtualnya membuat langkahku malam itu terasa lebih mantap. Bukan Sekadar Diputar, Tapi Duduk Bersama Sineas Situbondo Adalah Sebuah Penghormatan Sutradara film Lastarè duduk bersama Sutradara film Wrapped dan film Bising, juga bersama kurator dan penikmat film Duduk sebagai penonton saat Film Lastarè diputar di Pendopo Situbondo adalah momen yang tidak akan cepat pudar dari ingatanku. Kursi itu, kini menyuguhkan hasil kerja keras k...

Hutan Bukan Sekadar Pohon, Tapi Hidup

Di balik rindangnya hutan, ada kehidupan. Ada kearifan. Ada cinta yang diwariskan turun-temurun. Aku belajar semua itu dari mereka, masyarakat adat yang menjaga hutan seperti menjaga rumahnya sendiri. Hutan Adat Lebih dari Sekadar Pohon Saat nonton live di Instagram @ecobloggersquad di Festival Lestari, aku merasa terdiam. Ternyata, hutan adat itu bukan cuma tentang pohon yang tinggi atau udara yang sejuk. Hutan adat adalah kehidupan. Masyarakat yang tinggal di sana tidak hanya menjaga hutannya, tapi mereka juga menggantungkan hidupnya pada hutan itu. Bukan dengan cara merusak, tapi dengan cara yang justru memperpanjang umur hutan itu sendiri. Di Kalimantan Barat, pangan lokal bukan sekadar makanan yang tumbuh di sekitar rumah. Pangan lokal di sana adalah inovasi. Mereka mengenal hutan seperti mengenal diri mereka sendiri. Ada peta wilayah yang mereka pahami, ada sistem berladang berpindah yang mereka jalani dengan penuh kesadaran. Mereka tahu kapan harus mengambil, kapan harus memberi...

Kamu Boleh Sibuk, Tapi Jangan Lupa Tetesin Aku

Dear Uwan Urwan, Aku tahu, kau sibuk. Pekerjaan menumpuk, deadline tak kenal waktu, dan hiburan di layar seolah menjadi pelarian. Tapi izinkan aku, matamu, menulis sepucuk surat. Surat dari organ mungil yang mungkin sering kau abaikan. Padahal, setiap hari aku menjadi jendela duniamu. Aku mengajakmu membaca, menonton, bekerja, bahkan menangis dan tertawa. Namun akhir-akhir ini, aku lelah. Kau mungkin belum menyadari sinyal yang kukirim. Mata sepet di pagi hari, perih menjelang malam, dan lelah yang tak kunjung reda. Kadang aku membuatmu berair, kadang justru terasa kering dan gatal. Itu bukan tanpa alasan. Itu adalah caraku berkata: “Aku butuh istirahat. Tolong jangan paksa aku melihat terus apalagi menatap gawai pandaimu!” Tapi kau terus memaksaku. Dalam gelap maupun terang, aku dipaksa waspada. Bahkan ketika tubuhmu rebah, jari-jarimu masih mencari notifikasi. Pernahkah kau merasa seperti ada pasir menempel di kelopakmu? Atau pandanganmu kabur setelah menatap layar terlalu lama? Itu ...