![]() |
Gambar dibuat dengan Gemini |
Setiap bulan Asyura datang, Situbondo seperti berubah menjadi kota bubur. Tapi ini bukan bubur sembarangan, melainkan tajin sora, warisan tradisi Madura yang hanya bisa ditemui setahun sekali. Tidak ada penjualnya, tidak ada kios yang buka 24 jam menjualnya, semuanya dibuat di rumah-rumah dengan hati yang lapang. Sepanjang bulan ini, tetangga saling mengantarkan tajin sora, dengan ragam topping yang berwarna-warni, dari ayam suwir hingga irisan cabai merah besar dan kuah santan kuning yang harum.
Sayangnya, saat tulisan ini diposting, kita sudah hampir menutup lembar bulan Safar, masa berbagi bubur ini sudah berakhir. Namun, di balik manisnya tradisi ini, ada cerita lain, kebiasaan penyajian yang semakin praktis, tetapi juga meninggalkan jejak sampah sterofoam dan sampah kemasan yang tidak sedikit.
Dari Daun Pisang ke Sampah Sterofoam
Dulu, budaya Situbondo dalam tradisi ter-ater terasa seperti lukisan masa lalu. Tajin sora disajikan di piring dengan alas daun pisang, hijau, segar, dan wangi, diantar menggunakan tampah bambu atau nampan enamel besar. Sesampainya di rumah tetangga, bubur dipindahkan ke piring mereka. Piring kosong pun dibawa pulang, siap untuk mengantar ke tetangga berikutnya. Semua berlangsung dalam siklus sederhana, tanpa meninggalkan sampah kemasan. Sampah yang dihasilkan bisa terurai sempurna di alam.
Seiring waktu, daun pisang perlahan ditinggalkan. Orang mulai memakai kertas pembungkus nasi sebagai alas, lebih mudah didapat, tak perlu mencari ke kebun. Namun, piring masih tetap dipakai. Baru belakangan ini, kepraktisan menjadi kata kunci. Tajin sora disajikan langsung dalam wadah plastik tipis atau sampah sterofoam yang sekali pakai. Praktis? Iya. Hemat tenaga cuci piring? Pasti. Tapi masalahnya, plastik dan stearofoam bukan hanya meninggalkan tumpukan sampah, mereka juga meninggalkan jejak berbahaya pada tubuh kita, terutama jika makanan panas langsung dituangkan ke dalamnya.
Sebenernya, jika makanan yang tingkat panasnya sudah turun, itu masih aman. Namun, aku sering melihat bubur panas mengepul baru keluar dari wadah, langsung dituang ke wadah plastik/styrofoam. Tidak ada jeda untuk mendinginkan, tidak ada lapisan aman. Mikroplastik pun perlahan masuk ke dalam santapan kita. Dan di kota kecil seperti Situbondo, di mana sistem pengolahan sampah masih minim, ini menjadi bom waktu lingkungan.
Aku percaya, tradisi tak harus dikorbankan demi kemudahan. Kita bisa menjaga keindahan kuliner Situbondo seperti tajin sora, sekaligus mengurangi sampah kemasan. Solusinya tak selalu harus mahal atau rumit, apalagi di daerah yang masih tertinggal soal fasilitas pengolahan sampah.
Pertama, kembalikan penggunaan daun pisang. Selain ramah lingkungan, aromanya memberi sentuhan autentik pada tajin sora. Jika mencari daun pisang terasa merepotkan, bisa dibuat komunitas kecil di kampung untuk berbagi bahan. Kedua, gunakan wadah dari bahan biodegradable, seperti mangkuk kertas tebal berlapis pelindung alami. Harga memang sedikit lebih tinggi, tapi efeknya jauh lebih baik dibandingkan membiarkan sampah styrofoam menumpuk.
Ketiga, adakan bank wadah bersama. Bayangkan, setiap keluarga punya stok piring enamel atau mangkuk melamin yang bisa saling dipinjam saat musim tajin sora. Konsepnya mirip pinjam piring di hajatan, tapi dalam skala kampung. Dengan begitu, kita menghidupkan kembali semangat gotong royong budaya Situbondo.
Pengolahan Sampah yang Bisa Dimulai dari Rumah
Masalah sampah memang kompleks, tapi bukan berarti kita tak bisa memulainya dari dapur sendiri. Pengolahan sampah skala rumah tangga bisa dilakukan dengan memisahkan organik dan anorganik. Sisa makanan tajin sora bisa diolah menjadi kompos untuk tanaman, sementara plastik bisa dikumpulkan untuk dijual ke pengepul.
Selain itu, di Situbondo kita bisa membentuk kelompok kecil peduli sampah, meski sederhana, dampaknya terasa. Beberapa kota besar memang sudah punya pengusaha swasta yang bergerak di bidang pengolahan sampah, tapi di daerah kita, inisiatif warga justru menjadi kuncinya. Komunitas ini bisa mengedukasi tetangga soal bahaya sampah stearofoam terhadap kesehatan dan lingkungan. Edukasi semacam ini penting, karena banyak yang belum paham kalau zat kimia dari plastik bisa memicu penyakit serius bila bercampur dengan makanan panas.
Aku tahu, perubahan butuh waktu. Tapi setiap kali melihat tajin sora tersaji dengan piring yang aman dan ramah lingkungan, aku percaya langkah kecil ini akan menjadi warisan baru yang tak kalah indah dari resep aslinya.
Menjaga Rasa, Menjaga Bumi
Tajin sora adalah simbol kasih sayang dalam tradisi Madura, pelukan hangat dari tetangga, dan cerita panjang tentang kuliner Situbondo yang tak lekang dimakan waktu. Namun, jika kita ingin tradisi ini terus ada tanpa meninggalkan luka pada bumi, kita perlu beradaptasi.
Mengganti wadah sekali pakai dengan pilihan ramah lingkungan bukan berarti meninggalkan kemudahan, ini berarti memberi kesempatan pada bumi untuk bernapas lebih lama. Mungkin, kelak anak cucu kita akan mengenang bukan hanya rasa gurih kuah santan tajin sora, tapi juga kebijaksanaan generasi yang menjaganya.
Karena pada akhirnya, menjaga rasa berarti juga menjaga bumi yang memberi kita kehidupan. Dan aku ingin, setiap sendok tajin sora di masa depan tetap hadir dengan kehangatan, tanpa jejak sampah kemasan yang mengendap di tanah dan tubuh kita.
Comments