Setiap memasuki bulan Asyura, aroma hangat tajin sora mulai merebak di gang-gang kecil kawasan Situbondo. Tapi jangan harap kamu bisa menemukannya di warung makan atau pasar kuliner. Bubur kaya topping ini bukan sekadar makanan, melainkan bagian dari tradisi Situbondo yang sarat makna dan satu hal yang membuatnya istimewa, tajin sora tidak dijual. Ia hanya muncul sekali dalam setahun dan selalu hadir lewat tangan-tangan yang mengantar, bukan menjajakan.
Tradisi Madura yang Tumbuh di Tanah Tapal Kuda
![]() |
Gambar hasil dari Gemini |
Ter-ater tajin sora adalah bentuk tradisi Madura yang tumbuh kuat di kawasan tapal kuda, khususnya di Probolinggo dan Situbondo. Kata "ter-ater" sendiri dalam bahasa Madura berarti mengantarkan, namun lebih dalam maknanya memberi tanpa berharap kembali. Meski tetap ada kejadian perselisihan karena tetangga lupa (atau karena alasan khusus) melakukan timbal balik, ter-ater tajin sora, kepadanya. Di bulan Asyura, atau yang biasa disebut bulan Suro oleh masyarakat Madura, budaya ini hidup dalam wujud tajin sora, sepiring bubur beras hangat yang tampil memikat dengan aneka topping di atasnya.
Tajin sora biasanya berisi topping seperti ayam suwir, kacang goreng, telur dadar hias, tahu goreng, irisan cabai merah, dan kuah santan kekuningan yang disebut kella pathe. Kombinasi rempah dan rasa gurih dari santan membuatnya terasa istimewa. Tapi di balik kelezatannya, tajin sora menyimpan kisah gotong royong, semangat berbagi, dan eratnya hubungan sosial yang terus dijaga lewat piring-piring sederhana.
Tradisi ini dulu dilakukan dengan membawa piring beralas daun pisang menggunakan nampan enamel atau tampah bambu. Kini, meskipun sebagian sudah beralih ke food container plastik demi kepraktisan, semangatnya tak luntur, memberi dengan tulus tanpa pamrih.
Kuliner Situbondo yang Hidup Lewat Silaturahmi
![]() |
Tiap orang yang buat tajin sora, penampilannya akan berbeda dan rasanya pun agak berbeda. |
Tajin sora sudah menjadi bagian dari kuliner Situbondo yang tidak hanya memanjakan lidah, tapi juga menautkan hati. Ia bukan sekadar makanan yang dibuat, melainkan perayaan kecil di rumah-rumah. Ketika seseorang memasak tajin sora, itu artinya ia tengah menyiapkan kasih sayang untuk dibagikan ke tetangga dan saudara.
Menariknya, tidak ada aturan pasti dalam memberikaan topping pada tajin sora. Komposisinya menyesuaikan kemampuan masing-masing rumah. Kadang lengkap dengan lauk beragam, kadang hanya bubur, kuah santan, irisan wortel, irisan telur dadar, irisan cabai merah besar, dan sepotong kecil daging ayam. Justru di situ letak kehangatannya, semua orang bisa memberi, dengan cara dan kapasitas masing-masing.
Dalam budaya Situbondo, tajin sora tidak dibuat untuk diperjualbelikan. Selama bulan Asyura, bubur ini beredar dari rumah ke rumah, dibawa dengan senyum dan salam. Ia hidup dalam sistem sosial yang tidak bisa digantikan oleh transaksi uang. Tradisi Situbondo ini mengingatkan kita bahwa kuliner bisa menjadi ruang spiritual dan sosial sekaligus.
Kenangan yang Dihidangkan, Bukan Dijual
Dalam arus zaman yang serba komersial, tajin sora tetap bertahan sebagai pengecualian yang menyejukkan. Di saat banyak tradisi kuliner dilirik sebagai peluang bisnis, masyarakat Situbondo dan tapal kuda masih menjaganya sebagai warisan yang sakral. Tajin sora tidak pernah dipatok harga, tidak pernah dipajang untuk dibeli. Ia datang sebagai wujud cinta, bukan komoditas.
Lalu, apakah ini akan terus seperti ini? Tidak terbersitkah keinginan untuk mengemasnya sebagai potensi bisnis kuliner? Mungkin ada. Tapi selama semangat ter-ater masih kuat, selama bulan Asyura masih dirayakan dengan ketulusan, tajin sora akan tetap hidup dalam bentuknya yang paling murni, sebagai makanan yang hanya hadir untuk dibagikan.
Comments