Skip to main content

Posts

Go Jek, Layanan Ojek Terbarukan

     Menikmati malam di ibukota memang menyenangkan. Lampu-lampu yang mewarnai pinggir jalan saling memamerkan diri. Gedung-gedung tak hanya berdiri megah, tetapi juga menawarkan tingkatan sosial. Berjalan kaki di kawasan Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta, membuat saya terkagum-kagum. Beragam manusia berpakaian necis dan mobil-mobil mewah membanjiri area itu.      Waktu itu, 10 Februari 2015, saya usai menghadiri Go Jek Bloggers Gathering dan masih ingin menghabiskan malam di pusat keramaian. Namun, ada hal lain yang lebih menghawatirkan. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Itu berarti saya tak punya cukup waktu untuk sendirian menikmati udara malam. Saya harus kembali ke Depok menggunakan kereta Commuter Line . Butuh waktu sekitar dua jam untuk sampai di kamar terhangat di dunia dan menggelepar tak berdaya di atas kasur. Bersama teman-teman blogger (Kredit: Go Jek)       Saya membayangkan antrian busway di halte memadat. Pasti akan sanga

Membangun Rasa Dalam Puisi

     Beberapa tahun silam saat berdiskusi dengan senior tentang puisi saya seperti bocah yang tak bisa berhenti bertanya. Saya memang sudah menggeluti dunia tulis-menulis puisi sejak usia 14 tahun. Itu pun disebabkan rekan yang rajin ke perpustakaan sedang berdiskusi tentang sastra. Tergelitiklah saya. Diam-diam menculik ilmu dari buku-buku kumpulan puisi Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan penyair lain. Saya ingat betul jika tulisan saya waktu itu masih seputar daya khayal ‘ingin seperti penyair-penyair besar’. Sayangnya saya tidak memiliki dokumennya. Semua puisi sudah saya ubah berulang kali dan pada akhirnya raib tanpa jejak.      Dengan banyak berdiskusi dengan senior saat kuliah, saya pun menjadi paham. “Puisi itu yang terpenting rasa. Percuma bahasa bagus dan sistematika top, tetapi tidak ada rasa,” katanya waktu itu. Dari situ saya belajar kembali. Membaca dan memperhatikan penyair-penyair dalam karyanya. Bahkan saya sempat meng-add orang yang saya tahu dia sering memenan

Prosa tanpa Judul

       kali hanya tubuh yang dipermainkan. Disilet, dicacah, dijahit berulang, atau mungkin direbus dalam kuali besar. Ah, nikmat tubuh saat dikecami garam buta, bisu tuli telinga yang menderu-debu tak dapat lagi berwujud kalimat.       Kepalaku pusing meminta nyawa untuk tunduk padanya. Ia berkata, "kenikmatan dunia kenikmatan akhirat. Pilih yang mana dan kau akan menjadi salah satu penguasanya!"       Ah, itu hanya kata. Bayangkan aku tak dapat berbicara lantang. Aku hanya maya dan berdiri di depan kardus kosong. Ah, aku rindu sebenarnya, bukan kata.      Kata seringkali tak dapat bersedih. Ratapan menjadi iba dan tiupan aroma amis merajalela. Aku sering berontak pada maya yang menggelinding di bawah kakiku. Ia menyelinap dan masuk ke dalam pori-pori layaknya cacing yang menggorok tanah. ( Uwan Urwan )

Racauan Tentang... (Ah!)

     Sungguh berat perjalanan cinta. Bagaikan air, anggap saja ia mengalir dari puncak pegunungan berisi dua molekul hidrogen dan satu molekul oksigen sejuk. Mulanya ia merembes dari badan-badan tanah yang dipijak beragam flora. Ia mencari celah terlebar untuk dilalui dan sampailah ke ke titik bertemunya dengan teman-teman baru. Ia berkoloni bagai burung pipit dalam kawanannya di tepian sawah matang.      Gravitasi membawanya makin turun letaknya. Ia dan koloninya saling berlomba menda patka tempat terdepan. Ia tak hanya.membawa tubuh, beragam serpihan yang tak dikenali menempel pada badannya, seperti serpihan klorofil, unsur-unsur logam, dan puing-puing bernyawa lain. Tahu tidak, ia masih terbenam jauh dalam perut gunung-gunung menjulanv. Entah bagaimana ceritanya tanah meninggi bak tebing, aku tak tahu. Pada suatu wilayah yang teramat jauh, tersibaklah matahari. Keluarlah molekul-molekul kaya mineral itu ke atas permukaan tanah. Jalanan makin rendah dan ia selalu ta

Monas, Saksi Bisu Parade Mini

     Waktu menunjukkan pukul 11.00 WIB. Langit tanggal 10 Januari 2015 biru cerah, debur awan bertabur dalam ronanya, udara mengalir deras, kanopi Samanea saman dan beberapa spesies lain menabur oksigen, sumber kesejukan. Aku baru tiba di pintu Monas, entah pintu yang keberapa. Hiruk-pikuk beragam jenis manusia lalu-lalang meramaikan ikon ibukota. Birunya langit Monas      Rusa-rusa di kandangnya sedang menikmati pemandangan manusia dengan beragam warna pakaian. Mereka berteduh, menyesap kesejukan yang tersiram nikmat untuk paru-paru mereka. Aku pun merasakan hal yang sama. Kulihat beberapa orang sedang berlomba menuju titik tengah monumen bersejarah itu. Beberapa juga menggelar alas untuk bertamasya bersama kerabat. Meski tampak riuh, keringat menelusup melalui pori-pori kain merah yang saya sematkan di badan. Air saya teguk untuk mengendalikan dahaga sehabis berjalan cukup jauh karena memberhentikan kopaja tidak pada titik semestinya. Roti pun lahap dilumat lidah.