Skip to main content

Posts

Galau Itu Proses Kreatif

Ikan cupang dengan sirip berkibar Patah hati itu seperti makan kulit durian. Walaupun sakit, harus tertelan jika tidak muntahkan. Tetap saja dua jalan itu memilukan. Berhari-hari akan kesulitan menelan makanan bahkan penyakit lain akan bermunculan. Status-status galau pun berkicau bak murai batu di pentas lomba kicauan.   Tulisan pada gambar itu menambah kesan galau Saya pernah mengalaminya. Sekali dua kali tiga kali empat kali.... berapa kali ya? Hehe... Perasaan kalut berminggu-minggu seperti hiburan saja. Tapi jangan khawatir saya tidak akan melakukan hal aneh. Bodoh kalau saya menyakiti diri. Saya malahan menyukai kegalauan hati. Dengan galau, saya bisa menghasilkan sesuatu. Setiap orang juga begitu. Pengusaha tidak akan sukses jika ia tidak galau, guru tidak akan menguasai materi saat menerangkan di kelas bila ia tidak galau, dan apalagi contohnya? Banyak. Wajah yang marah tergambar jelas pada mata yang garis mata tajam dan mulut terbuka Galau saya un

AJAIB SI ALAM

 Pekerjaan saya jalan-jalan? Rasanya kurang tepat. Sebenarnya saya lebih suka melepaskan ketegangan dengan berjalan kaki (nah lo apa maksudnya itu?). Walaupun jarang terjadi, di sela-sela waktu luang saya perlu menyempatkan diri pergi ke suatu tempat unik. Seperti perjalanan saya beberapa waktu lalu mengunjungi Taman Burung di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur.  Saya menemukan beberapa hal menarik. Mungkin karena pertama kali melihat hewan-hewan dalam jarak dekat sementara hewan itu tidak terusik dengan kedatangan saya. Saya menduga mereka muak melihat manusia atau bosan lebih tepatnya. Hewan pilihan pertama jatuh pada pelikan Pelecanus crispus .   Dengan mata kuning ditimpa bulatan hitam dan paruh panjang hingga separuh ukuran panjang badannya, ia seolah patung mati. Beberapa anggota badannya tak bergerak saat saya mendekat dan mengamati. Saya membayangkan jika pelikan itu manusia, raut wajahnya pasti datar tanpa ekspresi. Saya mendadak diliputi perasaan ngeri. Ya

Pengalaman Kecil Ajaib

 Setiap pekerjaan itu pasti mengandung hikmah. Kalau tidak bermanfaat, untuk apa manusia hidup? Bahkan pekerjaan yang sia-sia itu adalah pelajaran. Jika tidak, bagaimana bisa manusia menggolongkan pekerjaan membuang-buang waktu itu sia-sia? Orang-orang akan sadar bahwa beberapa menit lalu ia menghabiskan waktu tanpa menghasilkan apapun. Dengan begitu, esok hari mungkin ia bertekad melakukan hal besar. Atau sebaliknya, orang itu akan mengulang hal yang sama. Mungkin rasa bosan dan galau juga hikmah. Di sela-sela rutinitas yang membosankan, saya selalu menyediakan pensil, bolpoin, dan kertas kemana pun saya pergi. Seperti tulisan saya sebelumnya " Hobi Merangkai Abstrak ” itu termasuk peralatan wajib saya. Kalau dulu ada kertas khusus untuk merangkai sajak, sekarang kertas-kertas itu hanya untuk saya buat coretan tak berarti (doodle). Sebut saja coretan itu vinyet, ilustrasi, gambar abstrak atau apalah saya juga tidak begitu peduli. Toh, hasilnya juga sering tidak say

Hobi Merangkai Abstrak

Rasi bintang scorpio ( www.astronomy.ie ) Mandi di malam hari ternyata berefek segar jika usai beraktivitas apalagi berkeringat. Kepala saya terasa dingin. Jika sudah begitu, otak akan memerintah anggota gerak untuk melakukan sesuatu. Minimal menulis atau menggambar sesuatu. Itu adalah aktivitas saya sehari-hari. Mungkin sudah sejak menduduki bangku Sekolah Dasar. Flashback ke masa kecil membuat saya mengingat hal-hal konyol sebagai impian. Dulu saya bercita-cita menjadi astronot. Hampir setiap malam saya memperhatikan langit. Bintang-bintang berkelip seperti lautan cahaya. Di beberapa titik membentuk kumpulan yang disebut rasi. Rasi yang paling saya ingat itu rasi scorpio. Bentuknya mirip kalajengking jika ditarik garis dari satu titik ke titik lain. Ternyata cita-cita itu dusta. Semakin bertambah usia, saya tidak tertarik lagi dengan dunia perbintangan. Justru saya lebih banyak mencorat-coret kertas dengan spidol warna atau pensil warna. Beberapa kali saya m

BUYAR

Pisau dapur itu tiba-tiba menancap di atas kepala. Cep! Darah membludak memancar kemana-mana. Lalu byuurrr... kepala pecah berhamburan seperti pasir terhembus angin. Berceceran seperti lumpur panas. Badan tergeletak usai ledakan kejut itu. Tapi dua bola masih utuh walaupun telah terlempar ke dua tempat berjauhan. Salah satunya berkedip dan mengungkap resah akan tubuh yang kejang-kejang. Mata yang lain tak bergerak, mati. Langit mendung menghembuskan awan. Awan putih menjadi kelabu berubah pekat. Pyar Pyar. Petir, sahabatku, bersorak-sorai riang gembira. Entah apa yang dia pikirkan. Hujan turun menyapu daging-daging yang berserakan. Tubuhku ikut terseret berkilo-kilometer jauhnya. Hingga sampai di satu titik. Lautan. Di situlah aku terbuang. Vinyet : Uwan Urwan Puisi : Uwan Urwan

Namun, ini hanya pilu penuh!

Berbisik pasir membisu Sekelebat hatinya membeku bagai gutasi yang menetes sebagai bagian dari kawah surga Indah rasanya - elok katanya Ini cinta. Bukan! Ini hanya sayang. Kepada pujangga yang dielu-elukan menjadi cinta pribadi Walaupun kadang matahari menggertak gigiku yang gemeretak Bulan, biarkan aku berlabuh di hatinya Menjadi bagian dari persinggahan dalam perjalanan mencari kesempurnaan dunia Biarkan pula aku menanam mekarnya melati baik di lutut, mata, ataupun lidahnya Biarkan dia menari-nari ketika lilin hampir temaram Ditemani sepucuk nada gemericik air terjun Bagaimana kau pikir ia? Dia bukan wanita. Dia bukan laki-laki. Dia tak berkelamin, hanya sepucuk cinta. Seperti aku membenci ketika mencintainya Seperti aku menolak matanya ketika menyayanginya Aku sayang, cinta, bukan sebagian Namun, ini hanyalah bagian dari rasa kecut pengecut! Picture by Uwan Urwan Poem by Uwan Urwan

SENDU DENGAN PERJALANAN PUNGGUNG

          Sebenarnya tidak berniat untuk narsis. Tapi lebih untuk memuji seorang karya penyair Indonesia. Mungkin saya tidak tahu banyak tentang sosok Afrizal Malna. Dia hanya seorang penyair menurut saya. Itu pemikiran saya sebelum menemukan sebuah buku bersampul kain batik. Kontras dengan buku-buku lain yang hanya terbungkus kertas tebal mengilap dengan font judul besar-besar. Justru keberadaan satu kumpulan puisi salah satu penyair besar itu yang menarik perhatian saya. (Kejadian ini terjadi sekitar tahun 2007-2008>>>>lupa tepatnya).           Luar biasa. Itu sebuah kumpulan puisi berjudul "Teman-temanku dari Atap Bahasa". Saya dulu memang hobi menulis puisi. Tercatat lebih dari 100 puisi yang saya tulis dan belum dipublikasikan Haha... puisi-puisi saya standar, mungkin. Beberapa kali ditolak penerbit. Saya menduga, prospek buku kumpulan puisi di Indoenesia sangat rendah dan saya mengirimkan ke penerbit yang salah. Sehingga seringkali ditolak penerbit (pem