Skip to main content

Posts

Pengalaman Kecil Ajaib

 Setiap pekerjaan itu pasti mengandung hikmah. Kalau tidak bermanfaat, untuk apa manusia hidup? Bahkan pekerjaan yang sia-sia itu adalah pelajaran. Jika tidak, bagaimana bisa manusia menggolongkan pekerjaan membuang-buang waktu itu sia-sia? Orang-orang akan sadar bahwa beberapa menit lalu ia menghabiskan waktu tanpa menghasilkan apapun. Dengan begitu, esok hari mungkin ia bertekad melakukan hal besar. Atau sebaliknya, orang itu akan mengulang hal yang sama. Mungkin rasa bosan dan galau juga hikmah. Di sela-sela rutinitas yang membosankan, saya selalu menyediakan pensil, bolpoin, dan kertas kemana pun saya pergi. Seperti tulisan saya sebelumnya " Hobi Merangkai Abstrak ” itu termasuk peralatan wajib saya. Kalau dulu ada kertas khusus untuk merangkai sajak, sekarang kertas-kertas itu hanya untuk saya buat coretan tak berarti (doodle). Sebut saja coretan itu vinyet, ilustrasi, gambar abstrak atau apalah saya juga tidak begitu peduli. Toh, hasilnya juga sering tidak say

Hobi Merangkai Abstrak

Rasi bintang scorpio ( www.astronomy.ie ) Mandi di malam hari ternyata berefek segar jika usai beraktivitas apalagi berkeringat. Kepala saya terasa dingin. Jika sudah begitu, otak akan memerintah anggota gerak untuk melakukan sesuatu. Minimal menulis atau menggambar sesuatu. Itu adalah aktivitas saya sehari-hari. Mungkin sudah sejak menduduki bangku Sekolah Dasar. Flashback ke masa kecil membuat saya mengingat hal-hal konyol sebagai impian. Dulu saya bercita-cita menjadi astronot. Hampir setiap malam saya memperhatikan langit. Bintang-bintang berkelip seperti lautan cahaya. Di beberapa titik membentuk kumpulan yang disebut rasi. Rasi yang paling saya ingat itu rasi scorpio. Bentuknya mirip kalajengking jika ditarik garis dari satu titik ke titik lain. Ternyata cita-cita itu dusta. Semakin bertambah usia, saya tidak tertarik lagi dengan dunia perbintangan. Justru saya lebih banyak mencorat-coret kertas dengan spidol warna atau pensil warna. Beberapa kali saya m

BUYAR

Pisau dapur itu tiba-tiba menancap di atas kepala. Cep! Darah membludak memancar kemana-mana. Lalu byuurrr... kepala pecah berhamburan seperti pasir terhembus angin. Berceceran seperti lumpur panas. Badan tergeletak usai ledakan kejut itu. Tapi dua bola masih utuh walaupun telah terlempar ke dua tempat berjauhan. Salah satunya berkedip dan mengungkap resah akan tubuh yang kejang-kejang. Mata yang lain tak bergerak, mati. Langit mendung menghembuskan awan. Awan putih menjadi kelabu berubah pekat. Pyar Pyar. Petir, sahabatku, bersorak-sorai riang gembira. Entah apa yang dia pikirkan. Hujan turun menyapu daging-daging yang berserakan. Tubuhku ikut terseret berkilo-kilometer jauhnya. Hingga sampai di satu titik. Lautan. Di situlah aku terbuang. Vinyet : Uwan Urwan Puisi : Uwan Urwan

Namun, ini hanya pilu penuh!

Berbisik pasir membisu Sekelebat hatinya membeku bagai gutasi yang menetes sebagai bagian dari kawah surga Indah rasanya - elok katanya Ini cinta. Bukan! Ini hanya sayang. Kepada pujangga yang dielu-elukan menjadi cinta pribadi Walaupun kadang matahari menggertak gigiku yang gemeretak Bulan, biarkan aku berlabuh di hatinya Menjadi bagian dari persinggahan dalam perjalanan mencari kesempurnaan dunia Biarkan pula aku menanam mekarnya melati baik di lutut, mata, ataupun lidahnya Biarkan dia menari-nari ketika lilin hampir temaram Ditemani sepucuk nada gemericik air terjun Bagaimana kau pikir ia? Dia bukan wanita. Dia bukan laki-laki. Dia tak berkelamin, hanya sepucuk cinta. Seperti aku membenci ketika mencintainya Seperti aku menolak matanya ketika menyayanginya Aku sayang, cinta, bukan sebagian Namun, ini hanyalah bagian dari rasa kecut pengecut! Picture by Uwan Urwan Poem by Uwan Urwan

SENDU DENGAN PERJALANAN PUNGGUNG

          Sebenarnya tidak berniat untuk narsis. Tapi lebih untuk memuji seorang karya penyair Indonesia. Mungkin saya tidak tahu banyak tentang sosok Afrizal Malna. Dia hanya seorang penyair menurut saya. Itu pemikiran saya sebelum menemukan sebuah buku bersampul kain batik. Kontras dengan buku-buku lain yang hanya terbungkus kertas tebal mengilap dengan font judul besar-besar. Justru keberadaan satu kumpulan puisi salah satu penyair besar itu yang menarik perhatian saya. (Kejadian ini terjadi sekitar tahun 2007-2008>>>>lupa tepatnya).           Luar biasa. Itu sebuah kumpulan puisi berjudul "Teman-temanku dari Atap Bahasa". Saya dulu memang hobi menulis puisi. Tercatat lebih dari 100 puisi yang saya tulis dan belum dipublikasikan Haha... puisi-puisi saya standar, mungkin. Beberapa kali ditolak penerbit. Saya menduga, prospek buku kumpulan puisi di Indoenesia sangat rendah dan saya mengirimkan ke penerbit yang salah. Sehingga seringkali ditolak penerbit (pem

Terjebak di Lokasi Kacilik Berada

Pada akhir Juli 2013 saya mendapatkan tugas berkeliling ke Jawa Timur. Salah satu lokasi yang saya datangi yaitu Blitar, Jawa Timur. Lokasinya terpencil dan dekat dengan perbatasan Kediri—Blitar. Waktu itu saya diantar oleh orang yang berbaik hati menemui rekan (sebut saja begitu). Hari itu saya menemui beberapa orang di Kediri dan terakhir di Blitar. Kebetulan, rekan saya tidak bisa mengantar hingga ke jalan raya. Ia menyarankan untuk meminta bantuan orang untuk mengantar (menjadi tukang ojek dadakan). Saya gengsi. Tentu saja, dengan pekerjaan saya sebagai tukang jalan-jalan tidak mungkin saya meminta tolong orang yang tidak dikenal untuk mengantar. Dan memang benar, tidak ada seorang pun yang bisa saya temui saat itu. Apalagi dua jam lagi matahari akan tenggelam. Saya hanya bisa menggigit bibir. Dengan getir, saya putuskan berjalan kaki saja berbekal kamera ‘keren’ walaupun saya harus segera kembali ke Malang untuk melaksanakan tugas esokan harinya. Saya melalui jalan beras