Aku masih ingat malam itu. Malam ketika suara kami akhirnya keluar dari ruang-ruang sunyi dan membaur dengan tawa orang-orang di sebuah kedai kopi. Malam ketika puisi yang lama tertidur akhirnya terbangun dan mulai mencari rumah baru di hati siapa saja yang mau mendengarnya. Sebagai pemuda Situbondo yang tumbuh dalam kebisuan kata-kata, aku tidak pernah menyangka bahwa baca puisi Situbondo bisa sehangat ini. Dan semua berawal dari keresahan kecil yang tumbuh menjadi gerakan penuh cinta dan keberanian.
Kami Pemuda Situbondo yang Tidak Mau Puisi Mati Begitu Saja
Bulan Juni dan Juli adalah bulan yang sibuk bagi kami para mahasiswa Situbondo yang mencintai puisi. Bersama teman-teman seperti Syarif, Iqbal, dan aku sendiri, kami memutuskan untuk tidak menunggu panggung datang. Kami menciptakan sendiri panggung itu di tengah kafe Situbondo, dengan nama kegiatan yang sederhana tetapi bermakna malam baca puisi Situbondo.
Event pertama kami adakan di Stasiun Kopi Kang Dodik yang terletak di Sumberkolak dekat stasiun lama yang telah lama terbengkalai. Aku tidak menyangka akan ada cukup banyak orang yang datang, apalagi ini malam pertama kami turun ke publik. Tapi nyatanya, ruang kecil itu penuh. Ada mahasiswa Situbondo dari berbagai jurusan, komunitas lokal, bahkan sastrawan Situbondo senior seperti Dedy Moerdhaniell yang datang membawa murid-muridnya. Ada juga Wahyu Aves, Imam Sofyan, dan rekan-rekan komunitas lainnya.
Malam itu tema kami adalah Juni Kita dan Puisi. Tidak ada panggung megah, tidak ada sorotan lampu, hanya instrumen dari YouTube dan suara-suara kami yang gugup namun tulus. Tapi justru kesederhanaan itu yang membuat suasana malam baca puisi Situbondo terasa hangat. Kami tidak ingin tampil dengan gaya berlebihan. Kami hanya ingin membacakan puisi dengan cara yang membuat siapa pun bisa menikmati tanpa harus merasa pintar atau paham teori sastra.
Ngamen Puisi Adalah Bentuk Cinta Paling Jujur
Sejak malam pertama itu, kami mulai menyebut kelompok kecil kami sebagai Jemari dengan penambahan dua orang baru, yaitu Sekar dan Bintang. Nama ini kami pilih karena kami ingin puisi terasa dekat dan membumi seperti sentuhan lembut yang menghangatkan. Jemari adalah upaya kami sebagai penyair Situbondo untuk tidak hanya menulis tapi juga menghadirkan puisi ke ruang-ruang publik yang selama ini lebih akrab dengan live music.
Aku pribadi punya keinginan besar agar puisi bisa menjadi alternatif hiburan. Bukan untuk menggantikan musik, tapi untuk membuka pilihan lain bagi orang-orang. Mungkin selama ini mereka tidak tahu bahwa puisi juga bisa menghibur, bisa mengajak tertawa dan menangis, bisa menjadi teman yang nyaman sambil menikmati secangkir kopi di kafe Situbondo.
Aku tahu perjuangan ini tidak mudah. Penyair Situbondo tidak pernah menjadi profesi yang glamor. Bahkan banyak sastrawan Situbondo yang hidupnya sunyi karena karya-karya mereka tak laku dijual. Tapi apakah karena itu kita harus menyerah dan membiarkan puisi mati? Aku tidak setuju. Maka kami memilih untuk ngamen puisi. Kami memilih menyuarakan isi hati lewat pembacaan yang santai dan penuh perasaan.
Puisi tidak harus dibacakan dengan teriak. Tidak harus mengenakan baju aneh. Cukup dengan suara jujur dan suasana yang mendukung, orang-orang akan mendengarkan. Dan dari situ, siapa tahu mereka mulai mencintai puisi juga.
Malam Rintik Rasa di Kafe Situbondo Bernama Fortuna
Event kedua kami adakan di Fortuna Cafe pada malam minggu tanggal 19 Juli 2025. Tema kami malam itu adalah Rintik Rasa di Bulan Juli. Tempat ini lebih terbuka, dekat jalan, dan sering dipenuhi anak muda yang sekadar nongkrong. Aku sempat ragu apakah mereka akan peduli dengan pembacaan puisi. Tapi ternyata aku keliru.
Malam itu banyak yang datang bukan hanya untuk melihat tapi juga ingin membaca puisinya sendiri. Ada yang datang membawa karya, ada yang baru pertama kali membaca di depan umum. Kami memberikan ruang untuk semuanya. Tak ada panggung mewah, hanya pojok kecil dengan mic sederhana. Tapi percayalah, di tempat itulah malam baca puisi Situbondo benar-benar hidup.
Malam itu kami kembali menyadari bahwa banyak pemuda Situbondo yang masih peduli pada kata-kata. Masih ada mahasiswa Situbondo yang ingin belajar menyuarakan isi hati. Kami juga kedatangan anggota baru bernama Kameliya yang langsung menyatu dalam diskusi setelah acara selesai.
Kami tak berhenti berdiskusi tentang masa depan puisi. Tentang bagaimana agar ngamen puisi ini tidak sekadar menjadi tren sesaat. Tapi menjadi budaya baru yang membangun kedekatan antara penyair dan masyarakat.
Kami Akan Terus Menyuarakan Kata-Kata dari Tanah Ini
Dua event mungkin terdengar kecil. Tapi bagiku ini adalah langkah awal yang besar. Kami sudah memulai, dan kami tidak akan berhenti. Sebagai penyair Situbondo (halah), aku percaya bahwa kata-kata masih punya daya. Dan lewat malam baca puisi Situbondo yang kami adakan di kafe Situbondo, kami ingin terus menyampaikan bahwa puisi masih hidup dan akan terus hidup.
Puisi adalah bentuk paling jujur dari cinta dan keresahan. Dan selama masih ada pemuda Situbondo yang mau membaca dan mendengar, puisi tidak akan pernah mati.
Comments