Skip to main content

Posts

Showing posts with the label fiksi mini

Pesan dan Batang

Aku mendiamkan pesan seorang kawan, "Mau sampai kapan kamu menghilang jika terdampar perkara?" Sambil menyesap batang rokok ketiga, bulan sabit mulai menari-nari bersama awan. Bintang-bintang mencoba bersembunyi dariku.  Hmm.. ternyata batang rokok lebih nyaman kukunyah ketimbang dibakar. Apa mesti kubuang?  Tung tung tung. Ponselku berdering. Sebuah pesan masuk. "Kamu di mana? Kamu gak apa-apa kan? Maaf, kalau aku mengganggu, tapi aku khawatir." Usai membaca pesan itu, kutekan tombol 'shut down'. Huff, aku berharap bebas dari kekhawatiran-kekhawatiran yang berlebihan itu. Tolong beri waktu untuk melebur hal-hal yang terjadi kemarin. Semakin kamu menggangguku, semakin aku benci. Bukannya kamu tahu itu? Udara kian dingin. Awan-awan sudah habis menyelimuti bintang. Batang-batang rokokku pun tak tersisa, hanya tinggal bungkusnya. Apa perlu kumakan juga? 21 Desember 2014

HUJAN (hidden part)

Aku masih belum percaya. Beberapa menit yang lalu Rara masih berjarak semeter dari tempatku berdiri. Kini ia tak berjarak. Tubuhnya menyatu dengan tubuhku. Sepertinya dia sedang terisak-isak. Semenit.... dua menit... tiga menit.... aku masih tertegun, tak bergerak. Sementara itu kelebat orang-orang sekitar kian buram. "Jangan pergi..." bisiknya.

HUJAN ....hmm (missing part)

Sudah pukul tiga dini hari. Mataku enggan mengatup. Pikiran-pikiranku masih terbuai kenangan beberapa hari lalu. Aku meraih sesuatu dalam laci. Gelang karet pemberiannya. Gelang karet berwarna hijau, warna kesukaanku dan benda itu jadi sangat spesial. Apakah aku sudah gila? "Sebenernya elu takut kan? Elu selalu merasa cinta itu salah?" pertanyaan Rara terngiang-ngiang. Lalu pikiranku kembali padanya. Iya, dia, dia yang entahlah, aku tak ingin menyebut namanya. Iya kamu benar, Ra. Aku takut terjebak kembali dalam cinta itu. Aku sudah lama ingin berhenti, menikmati duniaku yang lain, yang lebih nyata. Kamu tahu kan seberapa parahnya aku terluka, saat aku terkubur bersama malam-malam dan siang-siang kelabu. Butuh bertahun-tahun, Ra. Dan ini tidak semudah yang kamu bicarakan. Hah, iya. Kamu tidak tahu, sebab aku tak memberitahu. Hmmm... Gelang itu kini melekat di pergelangan tanganku. Sembari membuka galeri foto di ponsel. Hmm... Ada wajahnya. Ia tersenyu

HUJAN (part 4)

Aku meninggalkan ibukota kemarin. Sisa-sisa gemuruh masih lekat di dada. Segenap hidupku lantas terasa perih. Tahu kan bagaimana perihnya luka yang ditetesi perasan air jeruk nipis. Dia—yang tak pernah mungkin kusebut namanya—pun seolah melupakan malam-malam terkasih, bulan membelai, dan jantung berdegub. "Jangan pergi," kata Rara saat mengantarkan kepergianku di Bandara Soekarno Hatta kemarin. "Tidak ada alasan untuk tinggal. Semua dunia sudah kutinggalkan, Ra." "Bagaimana dengan dia? Elu sudah nembak dia? Atau elu ditolak?" Rara terisak. Ada sedikit keriput di wajahnya yang tak bisa ditutupi sekalipun oleh bedak. "Dia itu sebenarnya tidak ada. Dia itu tokoh fiktif yang aku ciptakan sendiri." Sesederhana itu aku berkata, seperti saat kukatakan pada temanku menjelang operasi pengangkatan tumor beberapa tahun silam, "Besok aku operasi." Tapi kumohon, jangan menerka apa yang ada di dalam sana. Aku tak ingin mengenang

HUJAN (part 3)

Hujan lagi. Aku baru saja menyelamatkan cucianku yang nyaris kering dari terpaan hujan. Petir dan guntur ikut berperang. Haah, kenapa di dunia ini perang selalu muncul. Paling parah sih jika perang batin mendera. Setan dan malaikat saling memberi pengaruh, tapi maaf malaikat, setan selalu menang. Hmm... sepertinya aku perlu banyak beristigfar. "Hadepin. Kalau cinta itu dihadepin. Kan elu gak tahu jodoh kamu nanti? Minimal elu kudu jujur." "Gue udah nyatain cinta sama beberapa orang, ya mesti ditolak sih. So whaat... Manusia berhak melakukan itu dan orang lain kudu menghargai." "Kalo elu sakit setelah menyatakan cinta, itu lebih baik. Daripada elu sakit bertaon-taon gara-gara cuma mendem rasa!" Perbincanganku bersama Rara tadi pagi masih terngiang. Lalu, apa yang harus kulakukan? Aku tahu dia tidak mencintaiku. Dia hanya sekedar.... menganggapku.... teman. Ah, aku jadi ingat. Pada suatu pagi, dia datang padaku. Bibirnya merah tersenyum.

HUJAN (part 2)

"Sebenernya yang bikin gue luluh sama Pak Rudi itu karena dia mau dengerin nasehat-nasehat gue meskipun remeh." Aku mengambil napas dalam, berharap bisa membantunya. Temanku ini terlampau serius dihajar cinta yang tidak pada posisinya. Rara, sebut saja temanku itu. Dia bukan perempuan yang suka bersolek. Meski cantik, ia tak mau memakai taburan bedak atau pewarna lain untuk bibir maupun matanya. Rara menyeruput jus tomat yang tinggal separuh gelas. Sesekali ia melihat jendel a. Di luar hujan, sementara itu orang-orang lalu-lalang di dalam restoran.  "Aku juga ngalamin yang kamu alami sebenarnya sih. Berkali-kali termasuk saat ini," kataku. Ia tiba-tiba menoleh. "Serius lo? Sama siape? Ibu tiri lo?" "Enggaklah. Gila apa? Dan kemarin tidak sengaja duduk sebelahan. Jantungku langsung deg-degan." Aku menarik napas, melirik jendela yang berembun. Hujan, hujan memang selalu menjadi momen pas untuk menggalau ria. Jika diperhatikan

HUJAN (part 1)

Tiba-tiba sebuah pesan mendarat di ponselku, "Hei, lo tahu gak rasanya cinta sama orang yang salah?" "Hahaha.. Gak ada yang salah dalam cinta," jawabku. Seperti biasa, aku hampir selalu mendapat cerita yang sama darinya. Ah, hidup, ah cinta. Aku hanya bisa memberi nasehat sesuka hati sih. Berusaha sok bijaksana dan paham bagaimana cinta itu berjalan. Awalnya sih dia tidak mengaku kalau jatuh cinta dengan atasannya. "Gue cuma kagum doang. Gak lebih." Tapi aku tahu kalau itu menghibur diri. So whattttt.... Jujur aja kalau cinta. Kini aku cuma bisa menatap pesan-pesan yang dia kirim, satu per satu. Beberapa kali aku tertawa akibat kekonyolannya. Ya, cinta memang suka membuat orang bertingkah di luar dugaan. "Gila, kalian udah seperti drama korea tauk! Kurang-kurangilah dramatisnya." Apa lagi yang mesti kukatakan saat dia bilang, "Gue suka bos gue. Sinting, kan?" Yeah, memang cukup gila, tapi apa yang salah dengan itu?

Prosa tanpa Judul

       kali hanya tubuh yang dipermainkan. Disilet, dicacah, dijahit berulang, atau mungkin direbus dalam kuali besar. Ah, nikmat tubuh saat dikecami garam buta, bisu tuli telinga yang menderu-debu tak dapat lagi berwujud kalimat.       Kepalaku pusing meminta nyawa untuk tunduk padanya. Ia berkata, "kenikmatan dunia kenikmatan akhirat. Pilih yang mana dan kau akan menjadi salah satu penguasanya!"       Ah, itu hanya kata. Bayangkan aku tak dapat berbicara lantang. Aku hanya maya dan berdiri di depan kardus kosong. Ah, aku rindu sebenarnya, bukan kata.      Kata seringkali tak dapat bersedih. Ratapan menjadi iba dan tiupan aroma amis merajalela. Aku sering berontak pada maya yang menggelinding di bawah kakiku. Ia menyelinap dan masuk ke dalam pori-pori layaknya cacing yang menggorok tanah. ( Uwan Urwan )

Racauan Tentang... (Ah!)

     Sungguh berat perjalanan cinta. Bagaikan air, anggap saja ia mengalir dari puncak pegunungan berisi dua molekul hidrogen dan satu molekul oksigen sejuk. Mulanya ia merembes dari badan-badan tanah yang dipijak beragam flora. Ia mencari celah terlebar untuk dilalui dan sampailah ke ke titik bertemunya dengan teman-teman baru. Ia berkoloni bagai burung pipit dalam kawanannya di tepian sawah matang.      Gravitasi membawanya makin turun letaknya. Ia dan koloninya saling berlomba menda patka tempat terdepan. Ia tak hanya.membawa tubuh, beragam serpihan yang tak dikenali menempel pada badannya, seperti serpihan klorofil, unsur-unsur logam, dan puing-puing bernyawa lain. Tahu tidak, ia masih terbenam jauh dalam perut gunung-gunung menjulanv. Entah bagaimana ceritanya tanah meninggi bak tebing, aku tak tahu. Pada suatu wilayah yang teramat jauh, tersibaklah matahari. Keluarlah molekul-molekul kaya mineral itu ke atas permukaan tanah. Jalanan makin rendah dan ia selalu ta

CERMIN (sebuah percakapan)

     Cinta itu ibarat buah cabai. Merah, menggoda, dan menarik. Dalam teori apapun warna merah adalah lambang hasrat dan cinta. Sama seperti buah cabai merah. Penampilannya saja membuat bibir kelu, ketika empat pasang seri memotong, biji-biji terlepas. Lidah menekan dan menarik biji-biji itu dengan gaya adesif yang disebabkan karena ludah. Bukan bacin!       Cabai! Lihat saja bentuknya yang langsing. Dialah wanita. Cabai itu wanita penggoda. Dia akan menggoda mulai dari mata sampai birahi. Pantas saja bibir gincu merah lebih disukai perempuan. Suaminya akan menggigit hingga biji-biji keluar. Sementara lidah punya gaya magnet sehingga saling berlekatan dengan biji-biji itu. Beberapa detik kemudian saraf terjaga karena rasanya. Menggelegar.       Ah, saya baru tahu kalau ada rasa ketujuh, ‘menggelegar’. Bukan petir menyambar. Namun, rasakan saja cabai pedas. Pedasnya super pedas. Apalagi cabai keriting yang menggeliat itu. Pedasnya akan membahana di seluruh ruang otak