Skip to main content

Posts

Showing posts with the label film

Stadhuis Schandaal, Mengulik Sejarah Zaman Penjajahan

Kota Tua sudah menjadi tempat wisata terkenal di Jakarta. Wisatawan lokal dan wisatawan asing seringkali berkunjung ke Kota Tua untuk melihat kemolekan bangunan zaman lampau yang masih kokoh hingga saat ini. Bangunan pada zaman itu memang terbukti kuat. Bangunan peninggalan itu dibangun saat Indonesia masih dijajah Belanda. Tak heran jika banyak bangunan di Indonesia namanya ke Belanda-belandaan termasuk di kawasan Kota Tua. Banyak kisah sebenarnya yang bisa diangkat saat berkunjung ke Kota Tua. Ada beberapa museum yang menggambarkan kehidupan Indonesia pada zaman itu. Namun tidak semua hal bisa ditangkap dan dikisahkan. Beruntunglah Xela Pictures mampu mengangkat Stadhius Schandaal sebagai bagian dari salah satu karya film di Indonesia.   Film Stadhuis Schandaal disutradarai oleh Adisurya Abdy. Kebetulan film ini sudah tayang di bioskop kesayangan kita di seluruh Indonesia mulai tanggal 26 Juli 2018. Film ini mengisahkan Fei yang sedang mengerjakan tugas kampus tentang

22 Menit, Terinspirasi dari Bom Sarinah

Anas (Ence Bagus), office boy di sebuah perusahaan, berakhir dengan mati sia-sia. Teroris yang membabi buta di jalan raya di depan Sarinah, Jakarta, menembak kepala Anas. Anas terkapar dan meregang nyawa. Puluhan hingga ratusan orang panik setelah terjadi ledakan di sebuah kedai kopi dan pos polisi. Mereka berhamburan, ada yang berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi, ada juga yang berusaha menyelamatkan diri. Kira-kira begitu gambaran sebagian adegan dalam film 22 Menit. Terinspirasi dari aksi teror Bom Sarinah pada 2016 yang menghebohkan warga Jakarta secara khusus dan Indonesia pada umumnya. Film berdurasi 75 menit ini cukup membuat saya teralih permanen dan akhirnya mematikan smartphone . Film karya Eugene Panji dan Myrna Paramita dari Buttonijo Films dan Bank Rakyat Indonesia mengangkat tentang keberanian warga Jakarta dan betapa sigapnya anggota kepolisian dalam mengatasi serangan teroris yang terjadi di kawasan Thamrin dua tahun lalu. Bekerjasama dengan pen

Film Koki-Koki Cilik, Film Ringan Sarat Makna

Saya ingat betul beberapa tahun silam, saat melakukan daftar ulang masuk universitas, saya diantar Bapak menuju Kota Malang yang sejuk. Dengan membawa berkas-berkas lengkap, kami meminta bantuan mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) untuk meminta keringanan biaya daftar ulang. Kebetulan dana dari kantong Bapak tidak mampu menutupi biaya total yang harus saya bayar. Dengan bantuan mereka, saya dibimbing untuk antri di depan ruang Pembantu Dekan 3, yang mengurusi keuangan mahasiwa. Melalui proses panjang, ke sana ke mari, harus fotokopi ini itu, akhirnya saya diberi waktu perpanjangan untuk melunasinya. Artinya saya bisa menjadi mahasiswa di kampus ternama di Jawa Timur itu. kredit:  celebrity.okezone.com Tampaknya tak berbeda jauh, Sayangnya dalam film Koki-Koki Cilik pun beberapa potongan kisah seperti mengembalikan ingatan saya tentang mimpi yang harus dikejar. Bima (Farras Fatik) adalah anak kurang beruntung secara ekonomi yang punya ho

Kulari ke Pantai, Film Keluarga Sarat Makna

Promo film Kulari ke Pantai sudah dilakukan jauh-jauh hari sebelum jadwal tayang. Dari judul saja saya penasaran, “Kulari ke Pantai?” saya langsung terngiang-ngiang puisi yang dibacakan Cinta dalam film Ada Apa dengan Cinta. Sepertinya Mira Lesmana dan Riri Riza tidak ingin masyarakat juga flashback ke film karya-karya mereka yang sukses mendapatkan respon positif masyarakat. Secara tidak sadar, judul ingin akan memutar-mutar kenangan tentang film sebelumnya, meski jalan ceritanya jelas-jelas berbeda. Yang unik, ternyata Kulari ke Pantai adalah film untuk anak, seperti Petualangan Sherina (2000) dan Laskar Pelangi (2008). Tentu saja film-film ini tidak hanya untuk anak-anak, tapi juga dewasa. Miles Films pun bekerjasama dengan Ideosource Entertainment, BASE, dan Go-Studio, kembali menghadirkan film anak, Kulari ke Pantai. Kulari ke Pantai akan hadir di bioskop-bioskop kesayangan kamu mulai tanggal 28 Juni 2018. Melalui film ini, Mira Lesmana dan Riri Riza merekrut pemai

Abhidhah, Potret Sederhana tentang Perbedaan

Bondowoso . Yang pertama kali terlintas saat mendengar kota itu disebut adalah daerah penghasil kayu. Selain itu, salah satu kota yang berada dalam wilayah tapal kuda itu memang jadi tempat singgah saat dalam perjalanan dari Situbondo ke Jember. Situbondo sangat dekat sekali dengan Bondowoso. Ya cukup naik motor dari pusat kota Situbondo, 15-30 menit sudah masuk ke wilayah Bondowoso. Untuk masuk ke kotanya sendiri butuh waktu lebih lama. Baca juga Desa wisata Lombok Kulon, Bondowoso Banyak potensi alam dan wisata sebenarnya di sana. Cuma saya ingin bercerita tentang sebagian kecil potensi sumber daya manusianya. Jadi sebenarnya saya dan teman-teman Komunitas Penulis Muda Situbondo (KPMS) juga Situbondo Photography Ponsel (Si Ponsel) diundang dalam screening film Abhidhah. Eits , jangan salah cara bacanya. Untuk bhi dibaca seperti huruf hijaiyah Ba ', tetapi huruf 'h'-nya tidak luruh dan dhah dibaca seperti huruf Dal dengan 'h' tidak luruh dan huruf &

Film Lights Out Seru

Yeay, nonton film horor? Kenapa tidak? Saya sudah terbiasa dengan yang horor-horor sih. Apalagi jiwa saya sudah horor. Wkwkw. Film Lights Out yang notabene juga seram saya libas. Seru. Film garapan asal Amerika yang digarap studio New Line Cinema dan Grey Matter Productions mengajak saya untuk terkejut-kejut dan ikut berteriak saat kaget. Sepertinya film horor bisa menjadi terapi galau. Sutradara kece, David F. Sandberg, cukup cerdas meramu plot dan drama film ini. Ya, lagipula siapa sih yang akan menilai buruk film Amerika yang sudah standar internasional ini? Hanya sedikit film barat yang tidak disukai. Kalau pun tidak disukai, film-film barat selalu digarap serius, mulai dari efek, bintang, dan soundtracknya. Kalau nilai seramnya sih buat saya lumayanlah. Saya kasih poin 7. Jadi ceritanya Rebecca, pemeran utama saat kecil dibayangi ketakutan dan akhirnya meninggalkan rumah. Martin, adik Rebecca yang masih tinggal bersama ibunya mengalami hal-hal menakutkan saat lampu padam.

Aisyah, Berjuang Mengajar di Pedalaman

Akhir-akhir ini saya banyak dilibatkan untuk menyaksikan film-film terbaru produksi anak bangsa. Beberapa tahun lalu sih saya enggan banget menonton film garapan orang Indonesia. Kenapa? Basi. Ceritanya itu-itu saja, monoton, apalagi saat film horor naik daun. Saya cuma bisa memicingkan mata jika ada promo film Indonesia akan tayang. Kalaupun saya ingin menonton film, saya biasanya pilih film luar. Biasanya teman-teman pehobi film juga suka memberi masukan film apa yang asyik untuk ditonton. Tapi kali ini saya harus jujur jika film-film Indonesia mulai menampakkan auranya. Beberapa sih masih agak kebarat-baratan. Ya udahlah, mungkin memang sasarannya untuk anak muda Indonesia yang kebarat-baratan. Wkwk... Salah satu adegan film Aisyah (kredit: luvina.com) Bertema pendidikan dan bhineka tunggal ika, film Aisyah, Biarkan Kami Bersaudara, menyedot perhatian saya. Laudya Cynthia Bella menjadi bintang utamanya. Film ini mengisahkan tentang Aisyah yang berasal dari Jawa Barat, teta

Film Dua Kodi Kartika, Inspiratif

Berbagi kisah baik itu saat ini jadi moto saya nih. Saya tahu, saya bukan manusia baik. Tapi bukan berarti manusia yang tidak baik tidak punya kesempatan berbuat baik. Saya menulis ini berkat menonton gala premiere Dua Kodi Kartika, The Heritage of Love. Kisah-kisahnya sangat sederhana dan berisi pesan semangat berjuang memulai usaha dari nol hingga sebesar ini. Film ini memang merupakan kisah perjalanan Bu Ika Kartika, owner Keke Busana. Bukan hal mustahal jika untuk memiliki usaha mandiri memang butuh perjuangan. Berawal dari menerima pesanan dari berbagai brand di Tanah Abang. Sampai akhirnya ia berani membuka brand sendiri dengan nama Keke. Keke pun bukan hal yang sembarangan diambil. Keke, diambil dari kata kekeuh yang artinya teguh, maksudnya bisa dibilang keras kepala. Jika Bu Ika mau mawar merah, artinya harus mendapatkan mawar merah. Mungkin sifat inilah yang menyebabkan usahanya kian besar dan terkenal seantero tanah air. Film ini sangat sederhana, banyak mengisahkan

Koala Kumal Bengal

Keseruan sebelum nonton bareng Beberapa tahun terakhir saya menyanjung tulisan Raditya Dika. Jika kembali pada film pertamanya 'Kambing Jantan' waktu itu saya hanya berpikir, "Film apa sih ini?" Otak saya masih belum beradaptasi. Tapi semakin ke belakang, karya-karya Dika kian bermakna. Dibalut dengan sangat ringan, pembaca dibuat seolah berada dalam permainan kisahnya. Novel Koala Kumal saya lahap habis tanpa bersisa, bahkan ada bab yang saya baca ulang. Filmnya tak jauh-jauh dari kisah percintaan, Dika menjadi pemeran utama, sedang berada dalam p uncak kebahagiaan. Sebab dia sedang menyiapkan pernikahannya dengan Andrea (Acha Septiasa). Segala pernak-pernik sedang ia pusingkan untuk dua bulan menjelang hari bersejarah itu. Tiba-tiba Andrea memutuskan hubungan karena berselingkuh dengan James (Nino Fernandez). Konflik pun bermula dari situ, hingga pada akhirnya Dika harus menghadapi kegalauan dalam hari-harinya. Bab terakhir bukunya pun belum satu kata pun

Menuju Tayang Untuk Angeline

Kak Seto dan Kinaryosih Tanggal 21 Juli 2016 rasanya akan menjadi sejarah baru bagi dunia perfiliman Indonesia. Sebab, tragedi kehidupan almarhum Engeline yang pernah tersiar hebat melalui banyak kanal diangkat menjadi film. Bertepatan di Dapoer Sunda, Pondok Indah Mall, Jakarta Selatan, poster, trailer , dan original soundtract dirilis dan dihadiri pemain-pemainnya, Kinaryosih, Roweinah Umboh, dan Naomi Ivo, sekaligus Niken Septikasari (produser), Jito Banyu (sutradara), dan Marsha Doeni (penyanyi ost-nya). Tak tanggung-tanggung, Seto Mulyadi (dipanggil Kak Seto) dari Komisi Nasional Perlindungan Anak pun hadir dalam acara ini. Lembaga Sensor Film pun telah melabeli "Lulus Sensor" untuk film ini dan dapat ditonton oleh semua usia. Kak Seto pun turut berperan dalam penggarapan film ini. Semua nama yang disebutkan dalam fakta persidangan telah disamarkan dan tidak ada kekerasan dalam setiap adegannya. Sebagai perjuangan untuk antikekerasan terhadap anak, film ini dia

Take Me Home, Film Cerdas

Film horor itu salah satu favorit saya, apalagi produksi Thailand. Begh , begitu menonton film Take Me Home besutan Kongkiat Khomsiri yang juga menjadi penulis skenarionya, saya dibuat terhenyak. Gilak, ini film cerdas   banget . Benar-benar horor dan penonton dibuat berpikir apa yang akan terjadi pada menit selanjutnya. Tan (Mario Maurer) hilang ingatan tersebab kecelakaan dan satu hal yang dia ingat hanya namanya. Banyak pertanyaan di dalam kepala tentang identitasnya mengharuskan ia mencari tahu. Sampai akhirnya ia menemukan tempat ia tinggal. Di sana ia bertemu Waw (Nabhada Sukhakrit) pembantu rumah tangga, Tubtim (Wannarot Sonthichai) saudari kembar, Chiwin (Peter Nopphacai) suami Tumbtim, dan dua anak Tubtim. Keanehan demi keanehan terjadi setelah Tan tinggal di rumah itu. Ingatannya perlahan terbuka, mengenai rumah berhantu, tentang Tubtim yang disebut kembar, tentang mengapa ayahnya mati, hingga kenapa ia hilang ingatan. Penonton dibuat terkaget-kaget dengan aksi horor

Take Me Home, Film Cerdas

Film horor itu salah satu favorit saya, apalagi produksi Thailand. Begh , begitu menonton film Take Me Home besutan Kongkiat Khomsiri yang juga menjadi penulis skenarionya, saya dibuat terhenyak. Gilak, ini film cerdas   banget . Benar-benar horor dan penonton dibuat berpikir apa yang akan terjadi pada menit selanjutnya. Tan (Mario Maurer) hilang ingatan tersebab kecelakaan dan satu hal yang dia ingat hanya namanya. Banyak pertanyaan di dalam kepala tentang identitasnya mengharuskan ia mencari tahu. Sampai akhirnya ia menemukan tempat ia tinggal. Di sana ia bertemu Waw (Nabhada Sukhakrit) pembantu rumah tangga, Tubtim (Wannarot Sonthichai) saudari kembar, Chiwin (Peter Nopphacai) suami Tumbtim, dan dua anak Tubtim. Keanehan demi keanehan terjadi setelah Tan tinggal di rumah itu. Ingatannya perlahan terbuka, mengenai rumah berhantu, tentang Tubtim yang disebut kembar, tentang mengapa ayahnya mati, hingga kenapa ia hilang ingatan. Penonton dibuat terkaget-kaget de

Sedia Tisu Sebelum Nonton Film Mars

Dari tangan ibu, sentuhan itu membuai dan dari tangannya juga, air mata anak-anaknya ia usap. Tidak semua orang tua mampu sekolahkan anaknya di sekolah ternama. Ada banyak faktor, salah satunya ekonomi. Saya ingat betul bagaimana perjuangan kedua orang tua menyekolahkan saya sampai jenjang perguruan tinggi. Dan saya seperti kembali menemukan patahan-patahan kisah hidup dalam film Mars. Film ini sangat dekat dengan perjalanan hidup saya. Film ini dibuka saat Sekar Palupi (Acha septriasa) berpidato di depan lulusan mahasiswa di Oxford University, Inggris dengan predikat mahasiswa terbaik. Dengan bangga dan haru ia kisahkan tentang kampung halamannya, kedua orang tuanya, dan perjuangannya hingga dapat melanjutkan studi di di Oxford University. Lalu flashback pada saat Tupon (Kinaryosih) berjuang dalam kemiskinan menyekolahkan Sekar kecil (Chelsea). Masalah demi masalah datang. Suaminya harus pergi, sementara ia harus menjual kambing untuk membeli seragam sekolah dan memberik

Super Didi, Film untuk Ayah

Ayah menghabiskan waktu lebih banyak di luar untuk menghidupi keluarga, tapi mendapatkan cinta lebih sedikit dari anak-anaknya.      Pada suatu pagi, dua anak perempuan kecil mengendap-endap masuk ke dalam sebuah kamar. Di dalam kamar, tergeletak pulas seorang laki-laki, Arka (Vino G Bastian), yang tak lain ayah mereka. Setibanya di atas kasur, kedua anak itu mencorat-coret wajah ayah mereka dengan lipstik. Beberapa saat kemudian sang ayah terbangun dan keceriaan pun bermula.      Pengantar di atas adalah cuplikan awal film Super Didi, yang diproduseri Reymund Levy. Menyentuh sampai detik terakhir, hingga menggugah untuk mengulang tiap adegan dari awal. Film ini berkisah tentang keluarga semikomedi.      Pada awalnya sang ayah dan istrinya, Wina (Karina Nadila) melakukan rutinitas seperti biasa dengan pembagian seimbang. Tapi mendadak Wina harus ke Hongkong selama dua minggu. Secara kebetulan, perusahaan Arka menaruh tanggung jawab padanya untuk mengerjakan proyek besar, deadli

(Sebuah Film) Catatan Akhir Kuliah

     Menonton trailer film Catatan Akhir Kuliah (tonton di sini ), membuat saya kembali pada masa empat tahun silam. Tahun 2011—2012 adalah saat-saat saya berkutat dalam hiruk-pikuk penelitian akhir demi kelulusan. Ada banyak hal kocak dan kisah sedih saat menjadi mahasiswa semester akhir. Saya percaya jika setiap orang memiliki cerita masing-masing menjelang lulus sarjana.        Film ini sengaja diangkat dari sebuah novel berjudul sama karya Sam Maulana. Tokoh utama dalam film ini bernama Sam (Muhadkly Acho) . Kisah persahabatan bersama Sobari (Ajun Perwira) dan Ajeb (Abdur) disuguhkan dengan apik. Mereka bertiga adalah mahasiswa semester akhir yang berjuang dengan skripsinya. Pada suatu waktu mereka berjanji untuk menyelesaikan kuliah segera untuk wisuda bersama.      Berpuluh-puluh kali naskahnya harus direvisi. Ia tampak stress terlebih kedua sahabatnya telah tuntas menyerahkan skripsinya. Itu jelas-jelas mengingatkan saya saat sebagian besar teman-teman angkatan saya