Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Puisi

Monas, Saksi Bisu Parade Mini

     Waktu menunjukkan pukul 11.00 WIB. Langit tanggal 10 Januari 2015 biru cerah, debur awan bertabur dalam ronanya, udara mengalir deras, kanopi Samanea saman dan beberapa spesies lain menabur oksigen, sumber kesejukan. Aku baru tiba di pintu Monas, entah pintu yang keberapa. Hiruk-pikuk beragam jenis manusia lalu-lalang meramaikan ikon ibukota. Birunya langit Monas      Rusa-rusa di kandangnya sedang menikmati pemandangan manusia dengan beragam warna pakaian. Mereka berteduh, menyesap kesejukan yang tersiram nikmat untuk paru-paru mereka. Aku pun merasakan hal yang sama. Kulihat beberapa orang sedang berlomba menuju titik tengah monumen bersejarah itu. Beberapa juga menggelar alas untuk bertamasya bersama kerabat. Meski tampak riuh, keringat menelusup melalui pori-pori kain merah yang saya sematkan di badan. Air saya teguk untuk mengendalikan dahaga sehabis berjalan cukup jauh karena memberhentikan kopaja tidak pada titik semestinya. Roti pun lahap dilumat lidah.   

Ini Tentang… Ini Persembahan Saya

Ini Tentang… Ini Persembahan Saya      Malam selalu gelap. Saya menyelaminya setiap kali menyentuh usia yang terus bertambah. Angka-angka yang akan terus bertambah dalam hidup saya sementara belum ada satu pun hal baik yang saya lakukan untuk orang lain. Saya minim pahala, saya miskin faedah, malah saban hari melakukan hal-hal tak penting. Memosting racauan kepala di media sosial dan berperilaku fakir kebergunaan. Saya harus melakukan sesuatu meski itu kecil.      Tampaknya jalan cerah itu selalu ada. Pada penghujung tahun (13/12/14), buku kumpulan puisi pertama saya launching terbitan PEDAS Publishing di Perpustakaan dan Kearsipan, Jl. Tanah Abang I, Jakarta Pusat. “Ini Tentang… Serumpun Tak Berima” label kofernya. Warnanya hitam mengilat dengan seorang perempuan bergincu dan lelaki berhidung mancung menerawang di sampul depan. Buku itu berisi kegalauan, kegilaan pikiran, dan buah sensasi hidup saya. Beragam tema saya tuangkan di sana, tanpa auran, tanpa rima, dan tanpa ber

MIGRASI KE ANTALOGI PENDEK

     Saya sengaja menghimpun beberapa puisi saya pada tulisan ini. Itung-itung blog ini sebagai dokumentasi sekaligus publikasi diri. (Ah, semoga masih ada manusia di zaman ini yang suka dengan laki-laki model begini. #kode). Atau mungkin ada orang penerbitan yang tidak sengaja terjerumus di blog ini dan terhipnotis oleh kata-kata  saya lalu tanpa sadar saya ditelepon terus dijadikan anak angkat atau calon menantu (loh?). Ah, tampaknya saya sedang labil jadi jangan acuhkan paragraf pembuka ini. Anggap saja saya gila atau apalah. Anda tidak layak ikut gila. Oke, beranjak ke alinea kedua saya ingin memberitahu bahwa puisi-puisi di bawah ini sudah muncul di status facebook saya beberapa waktu lalu. Jadi, ini bukan barang baru sih, tapi bisa jadi barang baru bagi Anda. Mari simak langsung daripada saya terlalu banyak cincau. hehe..  I Tentang senja yang temaram. Indah namun menyulitkan mata. Batin pun bekerja penuh seperti mengambur. Wanita itu merasakan payah hari ini. Ia

Galau Itu Proses Kreatif

Ikan cupang dengan sirip berkibar Patah hati itu seperti makan kulit durian. Walaupun sakit, harus tertelan jika tidak muntahkan. Tetap saja dua jalan itu memilukan. Berhari-hari akan kesulitan menelan makanan bahkan penyakit lain akan bermunculan. Status-status galau pun berkicau bak murai batu di pentas lomba kicauan.   Tulisan pada gambar itu menambah kesan galau Saya pernah mengalaminya. Sekali dua kali tiga kali empat kali.... berapa kali ya? Hehe... Perasaan kalut berminggu-minggu seperti hiburan saja. Tapi jangan khawatir saya tidak akan melakukan hal aneh. Bodoh kalau saya menyakiti diri. Saya malahan menyukai kegalauan hati. Dengan galau, saya bisa menghasilkan sesuatu. Setiap orang juga begitu. Pengusaha tidak akan sukses jika ia tidak galau, guru tidak akan menguasai materi saat menerangkan di kelas bila ia tidak galau, dan apalagi contohnya? Banyak. Wajah yang marah tergambar jelas pada mata yang garis mata tajam dan mulut terbuka Galau saya un

BUYAR

Pisau dapur itu tiba-tiba menancap di atas kepala. Cep! Darah membludak memancar kemana-mana. Lalu byuurrr... kepala pecah berhamburan seperti pasir terhembus angin. Berceceran seperti lumpur panas. Badan tergeletak usai ledakan kejut itu. Tapi dua bola masih utuh walaupun telah terlempar ke dua tempat berjauhan. Salah satunya berkedip dan mengungkap resah akan tubuh yang kejang-kejang. Mata yang lain tak bergerak, mati. Langit mendung menghembuskan awan. Awan putih menjadi kelabu berubah pekat. Pyar Pyar. Petir, sahabatku, bersorak-sorai riang gembira. Entah apa yang dia pikirkan. Hujan turun menyapu daging-daging yang berserakan. Tubuhku ikut terseret berkilo-kilometer jauhnya. Hingga sampai di satu titik. Lautan. Di situlah aku terbuang. Vinyet : Uwan Urwan Puisi : Uwan Urwan

Namun, ini hanya pilu penuh!

Berbisik pasir membisu Sekelebat hatinya membeku bagai gutasi yang menetes sebagai bagian dari kawah surga Indah rasanya - elok katanya Ini cinta. Bukan! Ini hanya sayang. Kepada pujangga yang dielu-elukan menjadi cinta pribadi Walaupun kadang matahari menggertak gigiku yang gemeretak Bulan, biarkan aku berlabuh di hatinya Menjadi bagian dari persinggahan dalam perjalanan mencari kesempurnaan dunia Biarkan pula aku menanam mekarnya melati baik di lutut, mata, ataupun lidahnya Biarkan dia menari-nari ketika lilin hampir temaram Ditemani sepucuk nada gemericik air terjun Bagaimana kau pikir ia? Dia bukan wanita. Dia bukan laki-laki. Dia tak berkelamin, hanya sepucuk cinta. Seperti aku membenci ketika mencintainya Seperti aku menolak matanya ketika menyayanginya Aku sayang, cinta, bukan sebagian Namun, ini hanyalah bagian dari rasa kecut pengecut! Picture by Uwan Urwan Poem by Uwan Urwan

SENDU DENGAN PERJALANAN PUNGGUNG

          Sebenarnya tidak berniat untuk narsis. Tapi lebih untuk memuji seorang karya penyair Indonesia. Mungkin saya tidak tahu banyak tentang sosok Afrizal Malna. Dia hanya seorang penyair menurut saya. Itu pemikiran saya sebelum menemukan sebuah buku bersampul kain batik. Kontras dengan buku-buku lain yang hanya terbungkus kertas tebal mengilap dengan font judul besar-besar. Justru keberadaan satu kumpulan puisi salah satu penyair besar itu yang menarik perhatian saya. (Kejadian ini terjadi sekitar tahun 2007-2008>>>>lupa tepatnya).           Luar biasa. Itu sebuah kumpulan puisi berjudul "Teman-temanku dari Atap Bahasa". Saya dulu memang hobi menulis puisi. Tercatat lebih dari 100 puisi yang saya tulis dan belum dipublikasikan Haha... puisi-puisi saya standar, mungkin. Beberapa kali ditolak penerbit. Saya menduga, prospek buku kumpulan puisi di Indoenesia sangat rendah dan saya mengirimkan ke penerbit yang salah. Sehingga seringkali ditolak penerbit (pem