Skip to main content

Posts

Inilah Saatnya Ubah Ide Jadi Duit

Pernah tidak kamu mengalami kebuntuan ide? Berjam-jam bahkan berhari-hari tidak bisa melakukan apapun lalu kesal sendiri karena banyak waktu terbuang percuma. Sementara pekerjaanmu menuntut harus segera mendapatkan ide segar yang cukup mengesankan. Pasti pernah. Mau kamu itu penulis, pembuat skenario, sutradara, penyanyi, dan banyak pekerjaan lain yang berkenaan dengan ide, pasti pernah mengalaminya. Ya kecuali memang pekerja yang semua aktivitasnya ditentukan oleh skema yang berputar sepanjang hari, misalnya teller bank, editor, buruh pabrik, pperawat, dan lain-lain. Rasanya untuk beberapa jenis pekerjaan yang saya sebutkan terakhir tidak butuh memeras ide jadi uang setiap hari, karena apa yang harus dikerjakan sudah ada di depan mata. Ada skema yang sudah diatur dan wajib dijalankan sesuai prosedur. Anggap saja kamu seorang penulis novel. Saat kamu menyelesaikan satu buku, apakah bisa langsung beralih menemukan ide baru lalu menuliskannya? Jawabannya bisa iya atau tidak. Bany

Seniman dan Budayawan Siapkan Tari Khas Situbondo

Tari kecak ( Art Wolfe, foto dari The Edge, kredit : www.wanderlust.co.uk) Pernah mendengar nama tari kecak, tari pendet, dan tari legong? Kira-kira tari tradisional tersebut khas dari mana ya? Ada yang bisa menjawab? Sebagian dari kamu yang membaca ini pasti akan menyebut langsung, tapi beberapa akan mencari tahu terlebih dahulu asal tarian tersebut. Saya tidak akan memberi jawaban di sini, tapi saya akan memberi pertanyaan lain. Tari gandrung kamu tahu berasal dari mana? Banyuwangi. Ya, benar sekali. Beberapa daerah sudah memiliki tarian khas, termasuk Banyuwangi. Sampai ada Festival Gandrung setiap tahun. Banyuwangi sudah terdepan untuk unggulkan tari tradisional Jawa Timur. Bagaimana dengan tari tradisional Jawa Tengah dan tari tradisional Jawa Barat? Tanpa ba-bi-bu, kamu pasti akan dengan gamblang menyebutkan beberapa nama tariannya. Berbeda dengan Situbondo? Begitu teman-teman menanyakan, “Apa yang khas dari Situbondo?” Biasanya saya berpikir agak lama, mencoba cari t

Gunung Ringgit, Antara Wisata Religi dan Wisata Alam

Pada suatu pagi yang tak pagi dan siang yang tak siang, sebuah pesan WhatApp (wa) memilih mampir di ponsel pintar “Hari minggu ke Ringgit yuk, Mas! Ke Balurannya tunda dulu. Gimana?” begitulah pesan itu berbunyi. Pesan itu dari seorang pria yang sedang mengalami gundah gulana akibat patah hati. Pemandangan sewaktu pendakian ke Gunung Ringgit Tanpa ba-bi-bu-be-bo, ca-ci-cu-ce-co, ini ibu Budi, ini bapak Budi, saya langsung menyanggupi. Lalu bertanya, “Siapa saja?” Dia menyebutkan satu nama seseorang, lalu nama lain, lalu bertambah peserta lagi. Oke . Saya berpikir jika pendakian itu berupa pendakian kecil yang bisa dengan mudah dilalui. Ketinggian gunung itu cukup kecil. Bisa dibilang saya cukup yakin dan sombong. ------ baca juga Bukit Pecaron, Wisata Religi yang Wajib Dikunjungi  Apalagi saya sudah pernah dua kali mendaki meski hanya sampai ke makam Raden Condrokusumo sepuluh tahun lalu. Saya anggap untuk sampai ke puncak Gunung Ringgit, hanya perlu sedikit lebih

Balik Ke Zaman Dulu di SRF

Saya masih ingat sore itu begitu cerah. Matahari tak segan tampakkan diri. Saya berdiri tepat di sebuah kerumunan, memarkir sepeda motor. Beberapa kerumunan itu terdiri dari pemuda dan pemudi dengan pakaian terbaiknya. Kaki pun melangkah dengan riang. Di sisi kiri berkumpul pria-pria separuh baya berseragam polisi. Tak jauh dari situ terpampang pintu gerbang berlabel “Situbondo Retro Festival”. Sepanjang jalan Irian Jaya biasanya hanyalah jalan raya biasa dengan aspal dan berbagai kendaraan melaju. Kali ini tak ada pengendara yang lalu lalang. Jalan itu kini disulap menjadi gubung-gubug penuh kisah masa lampau. Beberapa mobil dan sepeda ontel keluaran lama pun terpajang. Entah bagaimana kendaraan-kendaraan jadul itu didatangkan tanpa banyak protes. Sepertinya kondisinya cukup baik untuk dikendarai. Langkah kaki mulai tak sabar menjelajahi setiap rumah-rumah kecil yang didirikan. Meski mengusung tema jaman dulu, sesuai dengan namanya, beberapa spot terkesan cukup mode

Ini Dia Alasan Orang Indonesia Betah Tinggal Di Korea Selatan

Saya sering perhatikan timeline. Ada banyak postingan seru. Biasanya saya like postingan mereka atau komen jika menggelitik untuk dikomentari. Cukup intens juga sih saya memerhatikan teman-teman yang sering update di media sosial, jadi saya tahu (minimal) hal-hal yang membuat mereka senang. Beberapa teman saya tinggal di luar negeri, seperti Jepang, Afrika, Australia, Thailand, Jerman, Korea Selatan, bahkan ada yang memang bolak-balik ke luar negeri untuk melancong. Seru sih melihat perjalanan hidup yang mereka share di media sosial. Minimal mengagumi pemandangan yang jadi background selebihnya ya seru-seru tapi iri. Haha... Dan mereka betah di sana. Pemandangan menakjubkan yang selalu sukses buat iri (kredit: Ratih Kusuma Wardani) Kuliah di luar negeri juga impian saya sih dulu. Sebagian orang mungkin juga punya cita-cita yang sama. Kebetulan beberapa teman saat ini tinggal di Korea Selatan. Saya penasaran, apa sih yang membuat betah di Korea Selatan? Simak nih... 1. T

Kamera Smartphone Terbaik Pilihan Saya

“Ya, sayang kamera saya jelek.” “Pakai hape yang kameranya bagus saja.” Beberapa kali frasa tersebut mencuat dari mulut saya. Apalagi saat berjalan-jalan ke tempat-tempat yang belum pernah saya lalui, lalu menemukan objek keren tapi tidak dapat menghasilkan foto sesuai dengan keinginan. Sudah menjadi kebutuhan buat saya untuk upgrade ponsel yang punya kelebihan pada kameranya. Jujur saya belum terlalu percaya diri begitu pencahayaan kurang. Di dalam ruangan saja pada siang hari minimal mencari posisi di dekat jendela agar saat memotret mendapat cukup cahaya. Jika tidak, hasil memotret tidak sesuai harapan. Pasti masih grain . Kebetulan saya memang penyuka hasil foto tajam dan bisa menghasilkan bokeh natural. Bisa dibayangkan jika saya memotret mangkuk dengan bakso dan mie di dalamnya, lalu saya potret. Cekrek . Sebelumnya, saya perlu cari tahu apakah tempat saya makan cukup cahaya. Jika tidak, saya tidak akan mengeluarkan ponsel, kemudian menikmati bakso dengan sambal cab