Skip to main content

Posts

Showing posts from October, 2013

Namun, ini hanya pilu penuh!

Berbisik pasir membisu Sekelebat hatinya membeku bagai gutasi yang menetes sebagai bagian dari kawah surga Indah rasanya - elok katanya Ini cinta. Bukan! Ini hanya sayang. Kepada pujangga yang dielu-elukan menjadi cinta pribadi Walaupun kadang matahari menggertak gigiku yang gemeretak Bulan, biarkan aku berlabuh di hatinya Menjadi bagian dari persinggahan dalam perjalanan mencari kesempurnaan dunia Biarkan pula aku menanam mekarnya melati baik di lutut, mata, ataupun lidahnya Biarkan dia menari-nari ketika lilin hampir temaram Ditemani sepucuk nada gemericik air terjun Bagaimana kau pikir ia? Dia bukan wanita. Dia bukan laki-laki. Dia tak berkelamin, hanya sepucuk cinta. Seperti aku membenci ketika mencintainya Seperti aku menolak matanya ketika menyayanginya Aku sayang, cinta, bukan sebagian Namun, ini hanyalah bagian dari rasa kecut pengecut! Picture by Uwan Urwan Poem by Uwan Urwan

SENDU DENGAN PERJALANAN PUNGGUNG

          Sebenarnya tidak berniat untuk narsis. Tapi lebih untuk memuji seorang karya penyair Indonesia. Mungkin saya tidak tahu banyak tentang sosok Afrizal Malna. Dia hanya seorang penyair menurut saya. Itu pemikiran saya sebelum menemukan sebuah buku bersampul kain batik. Kontras dengan buku-buku lain yang hanya terbungkus kertas tebal mengilap dengan font judul besar-besar. Justru keberadaan satu kumpulan puisi salah satu penyair besar itu yang menarik perhatian saya. (Kejadian ini terjadi sekitar tahun 2007-2008>>>>lupa tepatnya).           Luar biasa. Itu sebuah kumpulan puisi berjudul "Teman-temanku dari Atap Bahasa". Saya dulu memang hobi menulis puisi. Tercatat lebih dari 100 puisi yang saya tulis dan belum dipublikasikan Haha... puisi-puisi saya standar, mungkin. Beberapa kali ditolak penerbit. Saya menduga, prospek buku kumpulan puisi di Indoenesia sangat rendah dan saya mengirimkan ke penerbit yang salah. Sehingga seringkali ditolak penerbit (pem

Terjebak di Lokasi Kacilik Berada

Pada akhir Juli 2013 saya mendapatkan tugas berkeliling ke Jawa Timur. Salah satu lokasi yang saya datangi yaitu Blitar, Jawa Timur. Lokasinya terpencil dan dekat dengan perbatasan Kediri—Blitar. Waktu itu saya diantar oleh orang yang berbaik hati menemui rekan (sebut saja begitu). Hari itu saya menemui beberapa orang di Kediri dan terakhir di Blitar. Kebetulan, rekan saya tidak bisa mengantar hingga ke jalan raya. Ia menyarankan untuk meminta bantuan orang untuk mengantar (menjadi tukang ojek dadakan). Saya gengsi. Tentu saja, dengan pekerjaan saya sebagai tukang jalan-jalan tidak mungkin saya meminta tolong orang yang tidak dikenal untuk mengantar. Dan memang benar, tidak ada seorang pun yang bisa saya temui saat itu. Apalagi dua jam lagi matahari akan tenggelam. Saya hanya bisa menggigit bibir. Dengan getir, saya putuskan berjalan kaki saja berbekal kamera ‘keren’ walaupun saya harus segera kembali ke Malang untuk melaksanakan tugas esokan harinya. Saya melalui jalan beras